Wednesday, June 10, 2015

Pendapatan per Kapita Menurun Tiap Tahun

Melemahnya mata uang rupiah terhadap dolar Amerika menghantui kondisi perekonomian. Depresiasi tajam nilai tukar rupiahdalam beberapa hari terakhir dan merosotnya indeks saham di Bursa Efek Indonesia (BEI). Membuat panas dingin pelaku pasar. Perlunya usaha ekstra untuk menjaga stabilitas nilai tukar.

Melemahnya rupiah bahkan hampir tembus pada level  Rp 13.400 per dolar AS (USD) mungkin bukan lagi kabar yang mengagetan. Kita makin terbiasa dengan dalih Bank Indonesia (BI) bahwa mata uang Negara-negara tetanga juga mengalami depresiasi. Hingga ada kesan “tidak masalah” rupiah mengalami penurunan asalkan ada mata uang lain yang mengalami nasib lebih parah. Merupakan sebuah logika merasa nyaman pada zona kejelekan, asalkan bersama-sama.

Padahal tingkat kesejahteraan Negara tetangga, sebut saja Korea dan Malaysia sangat tinggi. Ibaratnya “tabungan” mereka berjibun. Sekalipun mata uang sama-sama memburuk, kita tetap sulit atau mala semaki sulit untk mengejar ke level mereka.

Kurs yang terus menurun itu jelas “mencopet” pendapatan rakyat. Jarang ada yang serius membicarakan pendapatan per kapita Indonesia terus menurun bila dihitung dengan dolar. Pendapatan yang naik dalam angka rupiah menjadi tidak berarti.

Menurut BPS, pendapatan per kapita 2014 sebesar Rp 41,81 Juta, 2013 (Rp 38,28 Juta), 2012 (Rp 35, 11 Juta). Sekilas kita melihat, pendapatan Indonesia meningkat setiap tahunnya dalam hitungan rupiah. Namun, bila di tukar dengan dolar AS, pendapatan itu menurun cukup lumayan. Pendapatan 2012 (USD 3.571,38), 2013 (USD 3.669,75), dan 2014 (USD 3.351,45).

Dolar AS terus menanjak, mulai sekitar Rp 9.350, tahu berikutnya Rp 10.400, dan Rp 12.400 pada tahun 2014. Kini pada awal tahun penurunan cukup mencengangkan, hingga menyentuh hampir Rp 13.500. ketika menyentuh level Rp 13.000, kurs dianggap sudah menyentuh level psikologis, ambang batas toleransi. Kini leve psikologis itu, rupanya bergeser lagi ke Rp 13.500. Level psikologis kok berubah-ubah??.

Tingkat pendapatan rakyat tersebut diganggu inflasi dan pertumbuhan yang masih redup. Hal itu seiring dengan kondisi nonekonomi yang belum memberikan harapan. arah penegakan hukum belum jelas. KPK sudah loyo dan reyot. Pengisian pos-pos pejabat juga sering membuat harapan terbentuknya pemerintahan bersih kian redup. Progam-progam pemerintah hanya sebatas slogan. Belum ada faktor “wow” yang membuat rakyat yakin Negara ini dikelola dengan baik dan benar.

Kita lantas ingat target Presiden Jokowi untuk menaikkan pendapatan rakyat hingga USD 5.000. Bila kurs dolar sampai Rp 13.500 (bisa lebih), Jokowi perlu menaikkan pendapatan hingga Rp 67,5 per kapita!! Seriuslah, Mas Joko.


Sumber: Jawa Pos 19 Juni 2015