BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Islam adalah agama yang
praktis, mengajarkan segala yang baik dan bermanfaat bagi manusia. dengan tidak
mempermasalahkan soal waktu, tempat atau tahap-tahap perkembangan dari zaman ke
zaman. Islam memandang bahwa hidup manusia di dunia ini hanyalah sebagian kecil
dari perjalanan hidup manusia. Maka dari itu Islam mengajarkan.
Islam juga mengajarkan cara
ber-muamalat yang baik kepada umatnya, salah satunya adalah cara simpan
menyimpan harta. Sebenarnya aktifitas perbankan telah dimulai sejak zaman
kenabian. Nabi Muhammad Saw sebelum diutus menjadi Rasul telah dikenal sebagai al-Amin,
artinya orang yang dipercaya. Karena kejujurannya itulah Nabi Muhammad Saw
dipercaya untuk menyimpan segala macam barang titipan (deposit) orang
ramai. Dewasa ini, aktifitas keuangan dan perbankan sudah membawa masyarakat
modern kepada dua macam praktek simpanan yang diterapkan pada masa awal Islam,
yaitu wadi’ah yad amanah dan wadi’ah yad ad-damanah
B.
Rumusan
Masalah
Rumusan
masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut.
1.
Apa
pengertian wadi’ah dan dasar hukumnya?
2.
Apa
saja macam-macam wadi’ah?
3.
Bagaimana
rukun dan syarat wadi’ah?
C.
Tujuan
Penulisan
Tujuan
penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
1.
Menjelaskan
tentang pengertian wadi’ah dan dasar hukumnya.
2.
Menjelaskan
tentang macam-macam wadi’ah.
3.
Menjelaskan
tentang rukun dan syarat wadi’ah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN WADI’AH DAN DASAR
HUKUMNYA
1.
Pengertian Wadi’ah
Wadi’ah berasal
dari akar kata Wada’a, yang sinonimnya Taraka, artinya: meninggalkan.
Sesuatu yang dititipkan oleh seseorang kepada orang lain untuk dijaga dinamakan
wadi’ah, karena sesuatu (barang) tersebut ditinggalkan disisi orang yang
dititipi.[1]
Wadi’ah (petaruh) ialah menitipkan suatu barang kepada orang lain agar dia dapat
memelihara dan menjaganya sebagaimana mestinya.[2]
Menurut kitab UU Hukum Perdata Islam
pasal 763 yang dimaksud dengan barang titipan (wadi’ah) adalah barang yang
diserahkan kepada orang tertentu agar menyimpannya dengan baik dan aman.[3]
Secara umum, wadi’ah adalah titipan
murni dari pihak penitip yang mempunyai barang/aset kepada pihak penyimpan yang
diberi amanah/ kepercayaan, baik individu maupun badan hukum, tempat barang
yang dititipkan harus dijaga dari kerusakan, kerugian, keamanan, dan
keutuhannya, dan dikembalikan kapan saja penyimpan menghendaki.[4]
Firman Allah
Swt.dalam surah An-Nisa’ ayat 58:
اِنٌ
الٌلهَ يَأْ مُرُكُمْ اَنْ تُؤَدٌوااْلَامَنَتِ اِلَى اَهْلِهَا.
“Sesunggunya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya .” (AN-NISĀ’ :58)
Sabda Rasulullah Saw:
عَنْ
اَبِىْ هُرَيْرَةَ قَالَ النٌبِىٌ صَلٌى الٌلهُ عَلَيْهِ وَسَلٌمَ : اَدٌ
الْاَمَانَةَ اِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ وَلاَ تَخَنْ مَنْ خَا نَكَ. رواه الترمذى
Dari Abu Hurairah, “Nabi Saw. telah bersabda, ‘Bayarkanlah petaruh itu
kepada orang yang mempercayai engkau, dan jangan sekali-kali engkau berkhianat,
meskipun terhadap orang yang telah berkhianat kepadamu”. (H.R TIRMIDZI).[5]
Menurut istilah syara’ wadi’ah digunakan untuk arti "إِيْدَاعَ" dan untuk benda yang dititipkan. (الشٌيْءُ المُوْدَعُ)
Menurut jumhur ulama, mendefinisikan al-wadi’ah yaitu:
توكيل
في حفظ على وجه مخصوص .
“mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara
tertentu”.[6]
a.
Menurut ulama Hanafiyah definisi wadi’ah
adalah sebagai berikut.
وَشَرْعًا
: تَسْلِيْطُ الْغَيْرِ عَلَى حِفْظِ مَالِهِ صَرِيْحًا أَوْ دِلَالَةِ
Wadi’ah menurut syara’ adalah pemberian kuasa oleh seseorang kepada
orang lain untuk menjaga hartanya, baik dengan lafal yang tegas (sharih) atau
lafal yang tersirat (dilalah).
b.
Malikiyah
menyatakan bahwa wadi’ah memiliki dua arti, (1) dalam arti "إِيْدَاعَ", (2) dalam arti "الشٌيْءُ المُوْدَعُ (sesuatu yang dititipkan).
Dalam arti "إِيْدَاعَ", ada dua definisi:
Definisi
pertama adalah sebagai berikut.
أنَّهَا
عِبَارَةٌ عَنْ تَوْكِيْلٍ عَلَي مُجَرَّدِ حِفْظِ الْمَال
Sesungguhnya
wadi’ah adalah suatu ungkapan tentang pemberian kuasa khusus untuk menjaga
harta.
Definisi
kedua adalah sebagai berikut.
أنَّهَا
عِبَارَةٌ عَنْ نَقْلِ مُجَرَّدِ حِفْظِ الشَّيْءِ الْمَمْلُوْكئِ الَّذِيْ
يَصِحُّ نَقْلُهُ إِلَى الْمُوْدَع
Sesungguhnya wadi’ah adalah suatu ungkapan
tentang pemindahan semata-mata menjaga sesuatu yang dimiliki yang bisa
dipindahkan kepada orang yang dititipi (al-mûda’).
Dalam definisi yang pertama, Malikiyah memasukkan akad wadi’ah sebagai
salah satu jenis akad wakâlah (pemberian kuasa), hanya saja wakâlah yang
khusus untuk menjaga harta benda saja, tidak untuk tasarruf yang lain.
Oleh karena itu, wakâlah dalam jual beli tidak termasuk wadi’ah. Demikian
pula titipan yang bukan harta benda, seperti menitipkan bayi, tidak termasuk wadi’ah.
Sedangkan dalam definisi yang kedua wadi’ah dimasukkan ke dalam akad
pemindahan tugas menjaga harta benda dari si pemilik kepada orang lain, dengan
melalui transaksi, seperti jual beli, gadai, ijarâh, dan lain-lain tidak
termasuk wadi’ah.
Adapun definisi wadi’ah dengan arti sesuatu yang dititipkan (الشَّيْءُ
المُوْدَعُ) adalah sebagai berikut.
فَهُوَ
عِبَارَةٌ عَنْ شَيْءٍ مَمْلُوْكئٍ يُنْقَلُ مُجَرَّدُ حِفْظِهِ إِلَى الْمُوْدَع
wadi’ah adalah suatu ungkapan (istilah) tentang sesuatu
yang dimiliki yang penjagaannya secara khusus dipindahkan kepada orang yang
dititipi.
c.
Syafi’iyah memberikan definisi wadi’ah
sebagai berikut.
اَلْوَدِيْعَةُ
بِمَعْنَى اْلإِيْدَاعِ هِيَ الْعَقْدُ الْمُقْتَضِي لِحِفْظِ الشَّيْءِ
الْمُوْدَع
wadi’ah dengan arti "إِيْدَاعَ" (penitipan) adalah suatu akad yang
menghendaki (bertujuan) untuk menjaga sesuatu yang dititipkan.
d.
Hanabilah memberikan definisi wadi’ah
sebagai berikut.
اَلْوَدِيْعَةُ
بِمَعْنَى اْلإِيْدَاعِ تَوْكِيْلٌ فِي الْحِفْظِ تَبَرُّعًا
wadi’ah dengan arti "إِيْدَاعَ" (penitipan) adalah pemberian kuasa
untuk menjaga (barang) dengan sukarela (tabarru).
Dari definisi-definisi yang dikemukakan
oleh para ulama mazhab tersebut dapat diambil intisari bahwa wadi’ah adalah
suatu akad antara dua orang (pihak) di mana pihak pertama menyerahkan tugas dan
wewenang untuk menjaga barang yang dimilikinya kepada pihak lain, tanpa
imbalan. Barang yang diserahkan tersebut merupakan amanah yang harus dijaga
dengan baik, meskipun ia tidak menerima imbalan.[7]
2.
Dasar Hukum Wadi’ah
Hukum menerima
Wadi’ah (petaruh), yaitu:
1.
Sunnah, bagi orang yang percaya kepada
dirinya bahwa dia sanggup menjaga petaruh yang diserahkan kepadanya. Memang
menerima petaruh adalah sebagian dari tolong-menolong yang dianjurkan oleh
agama islam. Hukum ini (sunnah) apabila ada orang lain yang dapat dipetaruhi.
Tetapi kalau tidak ada yang lain, hanya dirinya sendiri. Kalau itu ia wajib
menerima petaruh yang dititipkan kepadanya.
2.
Haram, apabila dia tidak kuasa atau
tidak sanggup menjaganya sebagaimana semestinya. Karena seolah-olah ia
membukakan pintu untuk kerusakan atau lenyapnya barang yang dititipkan itu.
3.
Makruh, yaitu bagi orang yang dapat
menjaganya, tetapi ia tidak percaya kepada dirinya. Boleh jadi di kemudian hari
hal itu akan menyebabkan dia berkhianat terhadap barang yang dititipkan kepadanya.
wadi’ah adalah suatu akad yang dibolehkan oleh
syara’ berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’. Dalam Surah Al-Baqarah (2)
ayat 283 Allah berfirman:
وَإِن
كُنْتُمْ عَلَىٰ سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُواْ كَاتِبًا فَرِهَىٰنٌ مَّقْبُوضَةٌ ۖ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ
الَّذِى اؤْتُمِنَ أَمَىٰنَتَهُ, وَلْيَتَّقِ الّلهَ رَبَّهُ,ۗ
وَلاَ تَكْتُمُواْ الشَّهَىٰدَةَۚ
وَمَن يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ, ءَاثِمٌ قَلْبُهُ,ۗ
وَالّلهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang
kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan
yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu
mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan
amanahnya (utangnya) dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya; dan
janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang
menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan
Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa wadi’ah merupakan amanah
yang ada di tangan orang yang dititipi (mûda’) yang harus dijaga dan
dipelihara, dan apabila diminta oleh pemiliknya maka ia wajib mengembalikannya.
Disamping dalam Al-Qur’an, dasar hukum wadi’ah juga terdapat
dalam hadits Nabi Saw.:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ
الّلهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ الّلهِ صَلَّى الّلهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
أَدِّ اْلأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكئَ وَلاَ تَخُنْ مَنْ خَانَكئَ
Dari Abi Hurairah r.a. ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
Tunaikanlah amanah kepada orang yang mempercayakan (menitipkan) kepadamu dan
janganlah engkau berkhianat kepada orang yang mengkhianatimu. (HR. At-Tirmidzi dan Abu Dawud dan ia menghasankannya, dan hadits ini
juga dishahihkan oleh Hakim).
Hadits tersebut menjelaskan bahwa amanah harus diberikan kepada orang
yang mempercayakannya. Dengan demikian, amanah tersebut adalah titipan atau wadi’ah
yang harus dikembalikan kepada pemiliknya.
Di samping Al-Qur’an dan Sunnah, umat islam dari dahulu sampai sekarang
telah biasa melakukan penitipan barang kepada orang lain., tanpa adanya
pengingkaran dari umat Islam yang lainnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa umat
Islam sepakat dibolehkannya akad wadi’ah ini.[8]
B.
MACAM-MACAM WADI’AH
Dalam praktik di dunia perbankan, modal penitipan (wadi’ah) ini sudah
lama dijalankan, termasuk perbankan syari’ah. Transaksi wadi’ah dapat terjadi
pada akad safe deposit box atau giro.[9]
Akad berpola titipan (Wadi’ah) ada dua, yaitu Wadi’ah Yad Amanah
dan Wadi’ah Yad Dhamanah. Pada awalnya, Wadi’ah muncul dalam bentuk yad
al-amanah “tangan amanah”, yang kemudian dalam perkembangannya memunculkan yadh-dhamanah
“tangan penanggung”. Akad wadi’ah yad dhamanah ini akhirnya banyak
dipergunakan dalam aplikasi perbankan syariah dalam produk-produk pendanaan.
1)
Titipan Wadi’ah yad Amanah
Wadi’ah yad al-amanah yaitu pihak yang
menerima titipan tidak boleh memanfaatkan barang/benda sehingga orang/bank yang
dititipi hanya berfungsi sebagai penjaga barang tanpa memanfaatkannya. Sebagai
konsekuensinya yang menerima titipan dapat saja mensyaratkan adanya biaya penitipan.
Praktik semacam ini dalam perbankan berlaku akad safe deposit box atau
kotak penitipan.[10]
Dalam konteks ini, pada dasarnya pihak penyimpan sebagai penerima
kepercayaan adalah yad al-amanah “tangan amanah” yang berarti bahwa ia
tidak diharuskan bertanggung jawab jika sewaktu dalam penitipan terjadi
kehilangan atau kerusakan pada barang/aset penitipan, selama hal ini bukan
akibat dari kelalaian atau kecerobohan yang bersangkutan dalam memelihara
barang/aset titipan. Biaya penitipan boleh dibebankan kepada pihak penitip
sebagai kompensasi atas tanggung jawab pemeliharaan.
Dengan prinsip ini, pihak penyimpan tidak boleh menggunakan atau
memanfaatkan barang/aset yang dititipkan, melainkan hanya menjaganya. Selain
itu barang/aset yang dititipkan tidak boleh dicampuradukkan dengan barang/aset
lain, melainkan harus dipisahkan untuk masing-masing barang/aset penitip.
2)
Titipan Wadi’ah yad Dhamanah
Wadi’ah yad dhamanah yaitu penitipan
barang/uang dimana pihak penerima titipan dengan atau tanpa izin pemilik
barang/uang dapat memanfaatkan barang/uang titipan dan harus bertanggung jawab
terhadap kehilangan atau kerusakan barang/uang titipan.[11]
Dalam prinsip ini yad al-amanah “tangan amanah” kemudian
berkembang prinsip yad dhamanah “tangan penanggung” yang berarti bahwa
pihak penyimpan bertanggung jawab atas segala kerusakan atau kehilangan yang
terjadi pada barang/aset titipan.
Hal ini berarti bahwa pihak penyimpan adalah trustee yang
sekaligus guarantor “penjamin” keamanan barang/aset yang dititipkan. Ini
juga berarti bahwa pihak penyimpan telah mendapatkan izin dari pihak penitip
untuk mempergunakan barang/aset yang dititipkan tersebut untuk aktivitas
perekonomian tertentu, dengan catatan bahwa pihak penyimpan akan mengembalikan
barang/aset yang dititipkan secara utuh pada saat penyimpan menghendaki. Hal
ini sesuai dengan anjuran dalam Islam agar aset selalu diusahakan untuk tujuan
produktif (tidak didiamkan saja).
Dengan prinsip
ini, penyimpan boleh mencampur aset penitip dengan aset penyimpan atau aset
penitip yang lain, dan kemudian digunakan untuk tujuan produktif mencari
keuntungan. Pihak penyimpan berhak atas keuntungan yang diperoleh dari pemanfaatan
aset penitipan dan bertanggung jawab penuh atas resiko kerugian yang mungkin
timbul. Selain itu penyimpan diperbolehkan juga atas kehendak sendiri,
memberikan bonus kepada pemilik aset tanpa akad perjanjian yang mengikat
sebelumnya.[12]
C.
RUKUN DAN SYARAT WADI’AH
1.
Rukun Wadi’ah
Rukun wadi’ah (petaruh), yaitu:
1.
Ada barang yang dipetaruhkan. Syaratnya,
merupakan milik yang sah.
2.
Ada yang berpetaruh dan yang menerima
petaruh. Syarat keduanya seperti keadaan
wakil dan yang berwakil. Tiap-tiap orang yang sah berwakil atau menjadi
wakil, sah pula menerima petaruh atau berpetaruh.
3.
Lafadz, seperti: ”Saya petaruhkan barang
inikepada engkau”. Jawabannya, “Saya terima petaruhmu”. Menurut pendapat yang
sah tidak disyaratkan adanya lafadz kabul, tetapi cukup dengan perbuatan
(menerima barang yang dipetaruhkan). Habis masa akad Wadi’ah ialah dengan
matinya salah seorang dari yang berpetaruh atau yang menerima petaruh, begitu
juga apabila salah seorangnya gila atau minta berhenti.
Menurut Hanafiyah, rukun wadi’ah hanya satu, yaitu ijab dan
qabul. Sedangkan menurut jumhur ulama, rukun wadi’ah itu ada
empat:
a.
Benda yang dititipkan (al-‘ain
al-muda’ah),
b.
Shigat,
c.
Orang yang menitipkan (al-mudi’), dan
d.
Orang yang dititipi (al-muda’).
Akad petaruh adalah akad percaya-mempercayai. Oleh karena itu, yang
menerima petaruh tidak perlu menggantinya apabila barang yang dipetaruhkan
hilang atau rusak. Kecuali apabila rusak karena ia lalai atau kurang penjagaan,
berarti tidak dijaga sebagaimana mestinya.
Apabila seseorang yang menyimpan petaruh sudah begitu lama sehingga ia
tidak tahu lagi dimana atau siapa pemiliknya dan dia sudah pula berusaha
mencari dengan secukupnya, namun tidak juga didapatnya keterangan yang jelas.
Maka barang itu boleh dipergunakan untuk kepentingan umat islam dengan
mendahulukan yang lebih penting dari yang penting.
2.
Syarat-syarat Wadi’ah
Syarat-syarat benda yang dititipkan, syarat shigat, syarat orang
yang menitipkan, dan syarat orang yang dititipi, yaitu:
a.
Syarat-syarat benda yang dititipkan
Syarat-syarat untuk benda yang dititipkan adalah sebagai
berikut.
1)
Benda yang dititipkan disyaratkan harus
benda yang bisa untuk disimpan. Apabila benda tersebut tidak bisa disimpan,
seperti burung di udara atau benda yang jatuh ke dalam air, maka wadi’ah
tidak sah sehingga apabila hilang, tidak wajib mengganti. Syarat ini
dikemukakan oleh ulama-ulama Hanafiyah.
2)
Syafi’iyah dan Hanabilah mensyaratkan
benda yang dititipkan harus benda yang mempunyai nilai (qimah) dan
dipandang sebagai mal, walaupun najis. Seperti anjing yang bisa
dimanfaatkan untuk berburu, atau menjaga keamanan. Apabila benda tersebut tidak
memiliki nilai, seperti anjing yang tidak ada manfaatnya, maka wadi’ah
tidak sah.
b.
Syarat-syarat Shigat
Shigat akad adalah ijab dan qabul.
Syarat shigat adalah ijab harus dinyatakan dengan ucapan atau
perbuatan. Ucapan adakalanya tegas (sharih) dan adakalanya dengan
sindiran (kinayah). Malikiyah menyatakan bahwa lafal dengan kinayah harus
disertai dengan niat. Contoh lafal yang sharih: “saya titipkan barang ini
kepada anda”. Sedangkan contoh lafal sindiran (kinayah): Seseorang
mengatakan, “Berikan aku mobil ini”. Pemilik mobil menjawab: “Saya
berikan mobil ini kepada anda”. Kata “berikan” mengandung arti hibah
dan wadi’ah (titipan). Dalam konteks ini arti yang paling dekat adalah
“titipan”. Contoh ijab dengan perbuatan: Seseorang menaruh sepada motor di
hadapan seseorang tanpa mengucapkan kata-kata apapun. Perbuatan tersebut
menunjukkan penitipan (wadi’ah). Demikian pula qabul kadang-kadang
dengan lafal yang tegas (sharih), seperti: “Saya terima” dan
adakalanya dengan dilalah (penunjukan), misalnya sikap diam ketika
barang ditaruh di hadapannya.
c.
Syarat Orang yang Menitipkan (al-Mudi’)
Syarat orang yang menitipkan adalah sebagai berikut.
1)
Berakal. Dengan demikian, tidak sah wadi’ah
dari orang gila dan anak yang belum berakal.
2)
Baligh. Syarat ini dikemukakan oleh
Syafi’iyah. Dengan demikian menurut Syafi’iyah, wadi’ah tidak sah
apabila dilakukan oleh anak yang belum baligh (masih di bawah umur). Tetapi
menurut Hanafiyah baligh tidak menjadi syarat wadi’ah sehingga wadi’ah
hukumnya sah apabila dilakukan oleh anak mumayyiz dengan persetujuan
dari walinya atau washiy-nya.
Sebagaimana telah dikemukakan di muka bahwa Malikiyah memandang wadi’ah
sebagai salah satu jenis wakalah, hanya khusus dalam menjaga harta.
Dalam kaitan dengan syarat orang yang menitipan (mudi’) sama dengan
syarat orang mewakilkan (mukil), yaitu:
1)
Baligh,
2)
Berakal, dan
3)
Cerdas.
Apabila dikaitkan dengan definisi yang kedua, yang menganggap wadi’ah
hanya semata-mata memindahkan hak menjaga harta kepada orang yang dititipi,
maka syarat orang yang menitipkan (mudi’) adalah ia harus membutuhkan
jasa penitipan.
d.
Syarat Orang yang Dititipi (Al-Muda’)
Syarat orang yang dititipi (muda’) adalah sebagai berikut.
1)
Berakal. Tidak sah wadi’ah dari
orang gila dan anak yang masih di bawah umur. Hal ini dikarenakan akibat hukum
dari akad ini adalah kewajiban menjaga harta, sedangkan orang yang tidak
berakal tidak mampu untuk menjaga barang yang dititipkan kepadanya.
2)
Baligh. Syarat ini dikemukakan oleh
jumhur ulama. Akan tetapi, Hanafiyah tidak menjadikan baligh sebagai syarat
untuk orang yang dititipi, melainkan cukup ia sudah mumayyiz.
3)
Malikiyah mensyaratkan orang yang
dititipi harus orang yang diduga kuat mampu menjaga barang yang dititipkan
kepadanya.[13]
e.
Status
Wadiah
Para ulama mazhab sepakat bahwa wadi’ah merupakan perbuatan qurbah
(pendekatan diri kepada Allah) yang dianjurkan, dan dalam menjaga harta yang
dititipkan diberikan pahala. Titipan tersebut semata-mata merupakan amanah
(kepercayaan) bukan bersifat madhmumah (ganti rugi), sehingga orang yang
dititipi tidak dibebani ganti kerugian kecuali karena melampaui batas (ta’addi)
atau teledor (taqshir). Hal tersebut didasarkan pada Hadits Nabi Saw.
yang diriwayatkan oleh ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya bahwa Nabi
Saw. bersabda:
لَيْسَ
عَلَى الْمُسْتَعِيْرِ غَيْرِ الْمُغِلِّ ضَمَانٌ وَلاَ عَلَى الْمُسْتَوْدَعِ
غَيْرِ الْمُغِلِّ ضَمَانٌ
Tidak ada ganti rugi bagi orang yang meminjam yang tidak menyeleweng
dan tidak ada ganti rugi bagi orang yang dititipi yang tidak melakukan
penyelewengan. (HR. Ad-Daruquthni dan Baihaqi).
Dalam hadits lain yang juga diriwayatkan dari ‘Amr bin Syuaib dari
ayahnya dari kakeknya bahwa Nabi Saw. bersabda:
لاَضَمَانَ
عَلَى مُؤْتَمَنٍ
Tidak ada ganti rugi bagi pemegang amanah. (HR.
Ad-Daruquthni)
Atas dasar itu, apabila si pemilik barang meminta kembali barang yang
dititipkannya maka orang yang dititipi wajib mengembalikannya. Hal ini sesuai
dengan firman Allah dalam Surah An-Nisa’ (4) ayat 58:
إِنَّ
الّلهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤَدُّواْ الْأَمَىٰنَىٰتِ إِلَىٰٓ
أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ النَّاسِ أَن تَحْكُمُواْ بِالْعَدْلِۚ
إِنَّ الّلهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِ؛ٓۗ
إِنَّ الّلهَ كَانَ سَمِيعَۢا بَصِيرًا
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat.
Penyerahan penitipan tersebut harus langsung kepada diri
pemilik barang. berbeda dengan pinjaman (‘ariyah) dan ijarah, yang
pengembaliannya boleh kepada anggota keluarga si pemilik barang, berdasarkan
adat kebiasaan yang berlaku. Akan tetapi, untuk barang-barang
yang berharga, seperti emas dan permata, pengembaliannya harus langsung kepada
pemiliknya. Apabila barang tersebut dikembalikan kepada anggota keluarganya
kemudian hilang maka peminjam atau penyewa wajib mengganti kerugian karena
penyerahan dengan cara demikian menyalahi adat kebiasaan yang berlaku.
f.
Perubahan dari Amanah kepada Tanggungan (dhaman)
Status titipan dapat berubah dari amanah kepada tanggungan (Dhaman) karena
beberapa hal sebagai berikut.
1.
Orang yang dititipi tidak menjaga barang
titipannya dengan baik. Hal tersebut dikarenakan dengan terjadinya akad wadi’ah,
maka ia terikat untuk menjaga barang yang dititipkan kepadanya. Apabila ia
melihat ada orang yang mencuri barang titipan (wadi’ah), padahal ia
mampu untuk mencegahnya, tetapi ia diam saja maka ia wajib menggantinya.
2.
Orang yang dititipi tanpa udzur menitipkan
barang titipannya kepada orang lain yang bukan keluarganya dan orang yang
diduga kuat tidak mampu menjaga titipannya. Dalam hal ini ia (wadi’)
statusnya berubah menjadi dhamim (penanggung) karena orang yang
menitipkan setuju (rela) menitipkan barangnya kepadanya, tetapi tidak kepada
orang lain. Akan tetapi, apabila hal tersebut dilakukan karena udzur,
misalnya terjadi kebakaran di rumahnya, dan ia menyerahkan barang titipan
tersebut kepada orang lain maka dalam hal ini ia tidak wajib mengganti
kerugian.
3.
Orang yang dititipi menggunakan barang
titipan (wadi’ah). Misalnya kendaraan titipan dipakai oleh wadi’,
kemudian terjadi kerusakan maka ia wajib mengganti kerugian.
4.
Barang titipan dibawa bepergian. Menurut
Syafi’iyah dan Hanabilah apabila terjadi kerusakan atau hilang maka wadi’ wajib
mengganti, karena perjalanan rawan kehilangan, baik jalannya aman maupun tidak.
Abu Hanifah membolehkan orang yang dititipi (wadi’) membawa barang
titipan, apabila jalannya aman dan tidak dilarang oleh pemilik barang, misalnya
karena akad wadi’ah mutlak.
5.
Mengingkari wadi’ah. Apabila
orang yang menitipkan meminta kembali barang yang dititipkannya, tetapi orang
yang dititipi mengingkarinya, atau ia menahannya padahal ia mampu
menyerahkannya maka ia wajib mengganti kerugian.
6.
Bercampurnya wadi’ah dengan
barang lainnya. Apabila orang yang dititipi (wadi’) mencampur barang
titipan dengan hartanya sendiri maka ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama,
apabila barang titipan bisa dipisahkan dari hartanya maka hal itu tidak menjadi
masalah. Kemungkinan kedua, apabila barang titipan tidak bisa dipisahkan dari
harta orang yang dititipi maka menurut jumhur ulama termasuk Abu Hanifah, ia
wajib mengganti dengan barang yang sepadan (mitsli). Akan tetapi,
menurut Muhammad dan Abu Yusuf, pemilik boleh khiyar (memilih). Pertama,
ia boleh meminta ganti rugi dengan barang yang sepadan (mitsli). Kedua,
ia boleh mengambil separuh dari barang yang dicampur, atau kedua pemilik
menjualnya dan hasil penjualan dibagi.
7.
Penyimpangan terhadap syarat-syarat yang
ditetapkan oleh orang yang menitipkan (mudi’) dalam menjaga wadi’ah.
Apabila orang yang menitipkan mensyaratkan kepada orang yang dititipi (wadi’)
agar menjaga wadi’ah di tempat tertentu, seperti rumah atau toko,
kemudian ia (wadi’) memindahkannya ke tempat yang lain tanpa adanya udzur,
maka para ulama berbeda pendapat:
a)
Menurut Hanafiyah, Malikiyah, dan
Syafi’iyah, apabila pemindahannya ke tempat atau rumah yang sama amannya dengan
rumah pertama atau bahkan lebih maka orang yang dititipi tidak dikenakan ganti
rugi.
b)
Menurut pendapat yang lebih kuat di
kalangan ulama Hanabilah, orang yang dititipi dikenakan ganti rugi, baik tempat
pemindahannya sama amannya atau di bawah atau di atas dibandingkan dengan
tempat pertama. Alasannya, karena ia (wadi’) telah melanggar persyaratan
yang ditetapkan oleh pemilik barang tanpa faedah dan maslahat.[14]
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Wadi’ah adalah suatu akad antara dua orang (pihak) di mana pihak
pertama menyerahkan tugas dan wewenang untuk menjaga barang yang dimilikinya
kepada pihak lain dan harus dijaga dengan baik, meskipun tidak menerima
imbalan. Dasar hukum wadi’ah, yaitu: sunnah, haram, makruh. Umat islam dari
dahulu sampai sekarang telah biasa melakukan penitipan barang kepada orang lain
tanpa adanya pengingkaran dan membolehkan akad wadi’ah ini.
Macam-macam wadi’ah ada dua, yaitu Wadi’ah yad Amanah dan Wadi’ah
yad Dhamanah. Pada awalnya, wadi’ah muncul dalam bentuk yad al-amanah
“tangan amanah”, yang kemudian dalam perkembangannya memunculkan yadh-dhamanah
“tangan penanggung”. Akad wadi’ah yad dhamanah ini akhirnya banyak
dipergunakan dalam aplikasi perbankan syariah dalam produk-produk pendanaan.
Kemudian rukun wadi’ah, antara lain: ada barang yang dipetaruhkan, ada
yang berpetaruh dan yang menerima petaruh, dan lafadz. Kemudian syarat benda
yang dititipkan, syarat shigat, syarat orang yang menitipkan, dan syarat
orang yang dititipi, yaitu: syarat untuk benda yang dititipkan harus benda yang
bisa untuk disimpan. Shigat akad adalah ijab dan qabul. Dan syarat orang yang menitipkan adalah harus
Berakal, Baligh, dan Cerdas.
B.
SARAN
Untuk
seluruh Mahasiswa PAI sebaiknya lebih memahami apa itu wadi’ah, akad pola
wadi’ah, dasar hukumnya, rukun dan syaratnya dan status wadi’ah dalam pendidikan agar bisa menerapkan barang
wadi’ah apa saja yang diperbolehkan dalam islam sehingga tidak terjadi
perbedaan pendapat yang dapat menimbulkan kebingungan masyarakat terutama
mahasiswa untuk memahami wadi’ah.
DAFTAR RUJUKAN
Wardi Muslich, Ahmad. 2013. Fiqih Muamalat. Jakarta: Amzah.
Wirdyaningsih. 2005. Bank dan Asuransi Islam di Indonesia. Jakarta:
Kencana.
Rasjid, Sulaiman. 2015. Figh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Djazuli, A. 2002. Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Islam (Majalah al-Ahkam al-Adliyah). Bandung: Kiblat Press.
Ridwan, Muhammad. 2004. Manajemen Baitul Maal wa Tamwil
(BMT). Yogyakarta: UII Press.
Ali Hasan, M. 2003. Berbagai Macam Transaksi dalam Islam.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Ascarya.
2008. Akad & Produk Bank Syariah. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
[3] H.A Djazuli, Kitab
Undang-undang Hukum Perdata Islam, (Majalah al-Ahkam al-Adliyah), (Bandung:
Kiblat Press, 2002), hal. 167
[6] M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi
dalam Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 245-246.
[11] Wirdyaningsih (et.al), Bank
dan Asuransi Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), hal. 125
izin copas mas bro.thank
ReplyDelete