BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Aparatur
Negara Republik Indonesia terdiri dari 4,7 juta pegawai aparatur sipil Negara, 360.000 anggota
Polri, dan
330.000 anggota TNI.[1] Banyaknya jumlah aparatur Negara Republik Indonesia
maka seharusnya semakin besar tanggung jawab pengelolaan pemerintahan Negara yang bertujuan untuk
membantu dan mendukung seluruh
sumber daya manusia aparatur sipil Negara untuk merealisasikan seluruh
potensinya sebagai pegawai pemerintah yang menekankan
hak dan kewajiban individual
pegawai menuju perspektif baru yang menekankan pada manajemen
pengembangan sumber daya manusia. Perubahan tersebut
memerlukan manajemen pengembangan
sumber daya manusia aparatur Negara agar selalu maju dan memiliki
kualifikasi dan kompetensi yang diperlukan untuk
melaksanakan tugas dan fungsi pemerintahan dan pembangunan selaras dengan berbagai tantangan yang
dihadapi
bangsa Indonesia.[2]
Seiring dengan perkembangan dunia yang demikian pesat,
dan seiring dengan derasnya
aspirasi reformasi di dalam negeri, maka peranan penyelenggaraan
pemerintahan dan administrasi publik yang baik menjadi
semakin penting. Salah satu elemen yang penting dalam tata pemerintahan yang baik (Good Governance) adalah
adanya akuntabilitas, disamping transparasi,
penegakkan hukum dan lain sebagainya. Karena itu fungsi pengawasan merupakan unsur yang
sangat penting dalam proses penyelenggaraan pemerintahan, pengawasan memiliki peran yang sangat
strategis untuk
terwujudnya akuntabilitas publik dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Melalui suatu kebijakan pengawasan yang komprehensif
dan membina, maka diharapkan
kemampuan administrasi publik yang saat ini dianggap lemah, terutama di bidang
control pengawasan, dapat ditingkatkan kapasitasnya dalam rangka membangun
infrastruktur birokrasi yang lebih baik.[3]
Dalam kaitannya dengan akuntabilitas publik,
pengawasan merupakan salah satu cara untuk membangun dan menjaga legitimasi warga masyarakat
terhadap kinerja pemerintahan dengan menciptakan suatu sistem pengawasan yang
efektif, baik pengawasan
intern (internal control) maupun
pengawasan ekstern (external control)
Di samping mendorong adanya pengawasan masyarakat (social control). Tuntutan dari masyarakat yang mengingikan
terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang baik dilatarbelakangi karena
adanya praktek-praktek yang tidak terpuji yang dilakukan oleh para
penyelenggara pemerintahan. Penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di kalangan penyelenggara
pemerintah salahs satunya disebabkan oleh kurang efektifnya pelaksanaan
pengawasan yang dilakukan oleh badan pengawas. Beberapa peristiwa politik yang terjadi di negeri ini
membawa
dampak buruk bagi kehidupan berbangsa dan bernegara
telah menghadirkan kesadaran bagu semua komponen bangsa ini untuk melakukan
perubahan-perubahan yang
lebih baik dan tata kelola pemerintahan yang baik. Kesalahan dan kekhilafan
adalah suatu hal yang wajar yang dilakukan oleh setiap manusia. Tidak
terkecuali yang dilakukan oleh aparat pemerintah selaku penyelenggara
pemerintahan. Seiring dengan
meluasnya tugas-tugas administrasi dalam pemyelenggaraan pemerintahan,
semakin besar pula kekuasaan yang diberikan kepada
aparat pemerintah untuk menyelenggarakan
pemerintahan tersebut.
Oleh karena itu, diperlukanlah lembaga pengawasan yang
fungsinya untuk mencegah, memberikan peringatan, dan juga menindak atau
memperbaiki apabila aparat pemerintah melakukan kesalahan, sehingga dapat
diminimalisir terjadinya kesalahan dan penyimpangan yang mengakibatkan kepada
kerugian kepada masyarakat
ataupun Negara.Salah satu unsur Negara yang layak mendapat sorotan
dan perhatian dalam usaha-usaha menuju tata kelola
pemerintahan yang baik ini adalah aparatur Negara Republik Indonesia.
Dengan adanya berbagai polemik tersebut mengakibatkan terbentuknya Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara yang diundangkan pada tanggal
15 Januari 2014 yang telah membawa harapan baru untuk mempercepat terciptanya
Aparatur Sipil Negara (ASN) yang profesional, bebas dari intervensi politik,
bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, mampu menyelenggarakan
pelayanan publik bagi masyarakat dan mampu menjalankan peran sebagai perekat
persatuan dan kesatuan bangsa dalam rangka mencapai tujuan nasional.[4]
Dengan berlakunya undang-undang tersebut telah terjadi
pula perubahan komposisi kelembagaan yang mengurusi urusan kepegawaian dan
sumber daya aparatur negara. Terdapat 4 (empat) lembaga yang disebutkan secara
eksplisit dalam undang-undang tersebut berikut fungsi, tugas, dan
kewenangannya, yaitu Kementerian PAN dan RB, Komisi Aparatur Sipil Negara
(KASN), Lembaga Administrasi Negara (LAN), dan Badan Kepegawaian Negara (BKN).[5]
Penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan efektif
merupakan dambaan setiap
warga Negara, hal tersebut telah menjadi tuntutan masyarakat yang selama ini
hak-hak sipil mereka kurang memperoleh perhatian dan
pengakuan secara layak, sekalipun
hidup mereka dalam Negara hukum, Republik Indonesia. Pelayanan kepada
masyarakat (pelayanan publik) dan penegakan hukum yang
adil merupakan dua aspek yang
tidak terpisahkan dari upaya menciptakan pemerintahan yang demokratis yang
bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat,
keadilan kepastian hukum, dan kedamaian. Good Governance akan dapat terlaksana
sepenuhnya apabila ada keinginan
kuat (political will) penyelenggara pemerintahan dan penyelenggara Negara
untuk berpegang teguh kepada peraturan
perundang-undangan.
Namun realitas menunjukkan bahwa dengan adanya harapan
terhadap keberadaan KASN tersebut apabila dibandingkan dengan pengaturan
mengenai kedudukan, tugas dan kewenangan KASN dirasa masih lemah. Misalnya
pengaturan menganai kewenangan pengawasan, yaitu berwenang melakukan pengawasan
di tingkat pusat dan di tingkat daerah, akan tetapi pengaturan tentang
kedudukan KASN tidak mendukung pelaksanaan wewenang tersebut agar menjangkau
baik di tingkat pusat maupun daerah, karena KASN hanya berkedudukan di Ibukota
Jakarta.[6]
Struktur organisasi tersebut, dirasakan akan menghambat kinerja KASN misalnya
dalam melakukan pengawasan pengisian jabatan pimpinan tinggi pratama di
instansi pusat dan instansi daerah mulai dari pembentukan panitia seleksi
sampai pada proses seleksi. Hal tersebut akan menjadi tantangan tersendiri bagi
KASN karena jabatan pimpinan tinggi pratama merupakan jabatan yang dekat dengan
jabatan politik sehingga mau tidak mau akan ada intervensi yang kuat dari
pihak-pihak lain untuk mengintervensi pengisian jabatan pimpinan tinggi
tersebut. Permasalahan lain sebagai lembaga yang mandiri, KASN tidak mempunyai
fungsi regulatif maupun fungsi penghukuman karena fungsinya hanya melakukan
pengawasan dan merekomendasikan penjatuhan sanksi. Terkesan KASN fungsinya
tumpang tindih atau overlapping dengan lembaga lain yaitu dengan Kementerian
PAN dan RB, dengan Pejabat Pembina Kepegawaian (dalam penjatuhan sanksi) atau
bahkan dengan keberadaan Ombudsman RI.
Dibandingkan dengan
lembaga-lembaga sejenis di negara lain misalnya dengan Australian Public Service Commission (APSC)[7]
atau dengan Civil Service Commission (USA),
pengaturan pengelolaan manajemen aparatur sipil negara lebih jelas dan tidak
terkesan tumpang tindih bahkan Singapore
Public Civil Service Commission telah dicantumakan dalam konstitusi,
sehingga keberadaannya memiliki kedudukan yang lebih tinggi dan kuat.
Peran suatu lembaga/badan
pengawasan sangatlah penitng untuk menjaga kinerja para aparatur Negara dalam
menjalankan hak dan kewajibannya, hal ini
bertujuan untuk meminimalisir kemungkinan akan terjadinya penyimpangan yang
dilakukan oleh aparatur Negara. Dalam konteks membangun manajemen pemerintahan
publik yang bercirikan good governance (tata kelola pemerintahan yang baik),
pengawasan merupakan aspek penting untuk menjaga fungsi pemerintahan berjalan
sebagaimana mestinya. Dalam konteks ini, pengawasan menjadi sama pentingnya
dengan penerapan good governance itu
sendiri. Pentingnya melakukan pengawasan terhadap Pegawai Aparatur Sipil Negara
terrutama kepada Pejabat Pimpinan Tinggi karena Pimpinan Tingi merupakan
jabatan yang strategis sehingga harus dijaga profesionalitasnya karena memiliki
kemampuan yang besar untuk mempengaruhi bawahan dan orangorang di sekitarnya
untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
Tidak mengherankan bahwa
pelanggaran kerap ditemui di beberapa instansi pemerintah. Bentuk pelanggaran yang terjadi dalam pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi antara lain ialah
intervensi politik dalam pembentukan Panitia Seleksi, pelanggaran terhadap jumlah
dan komposisi Panitia Seleksi pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi, intervensi
terhadap
obyektifitas penilaian calon
Pejabat Pimpinan Tinggi, pelanggaran prosedural proses
tahap pelaksanaan seleksi,
pelanggaran terhadap sistem seleksi terbuka dalam kaitannya dengan
pelaksanaan Pilkada dan pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi yang masih menggunakan
pola lama dengan mengandalkan Bapperjakat. Oleh sebab itu, KASN dinilai sangatlah penting sebagai lembaga pengawas
aparatur sipil negara agar tidak terjadi penyimpangan dan penyelewangan jabatan
dalam tata kelola pemerintahan. Berkaitan dengan pokok permasalahan tersebut
maka kami mengangkat sebuah topik makalah dengan judul “Kedudukan dan Kewenangan Komisi Aparatur Sipil Negara dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan”.
1.2 Rumusan
Masalah
Berdasarkan uraian
latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1.
Bagaimana kedudukan dan Kewenangan
Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dalam penyelenggaraan
pemerintahan
untuk menjamin terwujudnya Sistem Merit?
2.
Bagaimana KASN sebagai
lembaga penunjang (State Auxiliary Organs)
dan sebagai Independent Supervisiory
Bodies?
3. Bagaimana konsep dan kebijakan
“Lelang Jabatan”?
1.3 Tujuan
Masalah
Berdasarkan pernyataan
masalah maka tujuan yang ingin dicapai oleh penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk
dapat mengetahui mengenai kedudukan dan Kewenangan
Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dalam penyelenggaraan pemerintahan untuk
menjamin terwujudnya Sistem Merit.
2. Untuk
mengetahui mengenai bagaimana peran KASN
sebagai lembaga penunjang (State
Auxiliary Organs) dan sebagai Independent
Supervisiory Bodies.
3. Untuk
memperoleh gambaran mengenai konsep dan kebijakan “Lelang Jabatan”.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Latar
Belakang Pembentukan KASN
Negara merupakan
“gezagsorganisatie”, yaitu sebagai
organisasi kewibawaan/ organisasi kekuasaan. Sehingga adanya organisasi dalam
negara itu merupakan syarat mutlak dan jika negara tak ada organisasinya, maka
akan menimbulkan anarchie, yang
menurut Jellinek merupakan “Contradictio
in objecto”, apabila negara tak memiliki organ-organ jadi tak sesuai dengan
sifat hakekatnya. Jadi dalam hal ini, dalam negara kita jumpai adanya organ
negara atau alat-alat perlengkapan negara.
KASN
merupakan sebuah lembaga baru dalam sistem kepegawaian di Indonesia
yang diamanatkan pembentukanya oleh UU ASN. KASN sebagaimana diatur dalam Pasal
1 angka 19 UU ASN adalah sebuah lembaga nonstruktural yang mandiri dan bebas
dari intervensi politik. Lebih lanjut dalam Pasal 27 UU ASN menyebutkan bahwa
“KASN merupakan lembaga nonstruktural yang mandiri dan bebas dari intervensi
politik untuk menciptakan Pegawai ASN yang profesional dan
berkinerja, memberikan pelayanan secara adil dan netral, serta menjadi perekat
dan pemersatu bangsa”.
Keberadaan
dari lembaga KASN ini dirasa sangat diperlukan ditengah-tengah ketidakpercayaan
masyarakat terhadap profesionalisme dari aparatur pemerintahan serta
kinerja birokrasi pemerintah baik di instansi pusat maupun daerah. Salah satu
persoalan mendasar dalam sistem kepegawaian di Indonesia saat ini adalah
pekerjaan tempat PNS mengabdi saat ini belum dipandang sebagai sebuah profesi
yang mulia, harus dihormati, dijaga, dan dijadikan dasar dalam berbagai
kebijakan dan manajemen Sumber Daya Manusia (SDM). Keadaan inilah yang melatarbelakangi
pembentuk undang-undang untuk mengamanatkan pembentukan KASN dalam UU ASN.
Kehadiran KASN dalam sistem kepegawaian di Indonesia juga
dapat memberikan perlindungan kepada PNS yang selama ini kerapkali menjadi
korban dari kesewenang-wenangan pejabat atasan. Terutama pada instansi daerah
seringkali terjadi politisasi terhadap jabatan birokrasi. Banyak pejabat
struktural yang menduduki jabatan tanpa kompetensi serta kemampuan yang mumpuni
melainkan hanya mengandalkan kedekatan dengan kepala daerah selaku Pejabat
Pembina Kepegawaian (selanjutnya disebut PPK). Sehingga prinsip the right man on the right place tidak
pernah terwujud. Selain itu proses pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian
PNS dengan alasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum juga
sering menimpa PNS. Disinilah kemudian KASN memiliki peran yang sangat
strategis dalam rangka menghadang kesewenang-wenangan dari pejabat atasan
sehingga agenda reformasi birokrasi diharapkan dapat
terwujud.
Hal ini sesuai dengan apa yang menjadi tujuan dibentuknya KASN. Adapun tujuan
dibentuknya KASN,
yaitu
untuk menjamin terwujudnya Sistem Merit dalam
kebijakan dan Manajemen ASN; mewujudkan ASN yang profesional, berkinerja
tinggi, sejahtera, dam berfungsi sebagai sebagai perekat Negara Kesatuan Republik
Indonesia; mendukung penyelenggaraan pemerintahan negara yang efektif, efisien,
dan terbuka, serta bebas dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme;
mewujudkan Pegawai ASN yang netral dan tidak membedakan masyarakat yang
dilayani berdasarkan suku, agama, ras, dan golongan; menjamin terbentuknya
profesi ASN yang dihormati pegawainya dan masyarakat; dan mewujudkan
ASN yang dinamis dan berbudaya pencapaian kinerja.
KASN
berkedudukan di ibukota negara. KASN berfungsi untuk mengawasi pelaksanaan
norma dasar, kode etik, dan kode perilaku ASN, serta penerapan Sistem Merit
dalam kebijakan dan Manajeman ASN pada Instansi Pemerintah. Untuk menjalankan
semua fungsi dan tugasnya tersebut maka KASN diberikan kewenangan. Berdasarkan
Pasal 32 ayat (1) UU ASN menyatakan bahwa KASN berwenang:
a.
Mengawasi setiap
tahapan proses pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi mulai dari
pembentukan panitia seleksi instansi, pengumuman lowongan, pelaksanaan seleksi,
pengusulan nama calon, penetapan, dan pelantikan Pejabat Pimpinan Tinggi;
b.
Mengawasi dan
mengevaluasi penerapan asas, nilai dasar serta kode etik dan
kode perilaku Pegawai ASN;
c.
Meminta
informasi dari pegawai ASN dan masyarakat mengenai laporan pelanggaran
norma dasar serta kode etik dan kode perilaku Pegawai ASN;
d.
Memeriksa
dokumen terkait pelanggaran norma dasar serta kode etik dan kode
perilaku Pegawai ASN; dan
e.
Meminta
klarifikasi dan/atau dokumen yang diperlukan dari Instansi Pemerintah
untuk pemeriksaan laporan atas pelanggaran norma dasar serta
kode etik dan kode perilaku Pegawai ASN.
KASN terdiri dari 7 (tujuh) orang komisioner yang
diseleksi secara kompetitif baik dari
unsur pemerintah dan/atau unsur non pemerintah. Setiap warga negara dapat
menjadi anggota KASN apapun latar belakangnya, apakah dari LSM, akademisi,
profesional, birokrat, atau aktifis sepanjang memenuhi persyaratan dapat mencalonkan diri sebagai anggota KASN.
Untuk menjamin independensi dan netralitas KASN,
anggota KASN harus memenuhi
persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 38 ayat (2) UU ASN. Pasal 38 ayat (2) UU ASN menyatakan bahwa “Anggota
KASN harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.
Warga negara
Indonesia;
b.
Setia dan taat
kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
c.
Berusia paling
rendah 50 (lima puluh) tahun pada saat mendaftarkan diri sebagai
calon anggota KASN;
d.
Tidak sedang
menjadi anggota partai politik dan/atau tidak sedang menduduki
jabatan politik;
e.
Mampu secara
jasmani dan rohani untuk melaksanakan tugas;
f.
Memiliki
kemampuan, pengalaman, dan/atau pengetahuan di bidang manajemen
sumber daya manusia;
g.
Berpendidikan paling
rendah strata dua (S2) di bidang administrasi negara,
manajemen sumber daya manusia, kebijakan publik, ilmu hukum, ilmu
pemerintahan, dan/atau strata dua (S2) di bidang lain yang memiliki pengalaman
di bidang manajemen sumber daya manusia;
h.
Tidak merangkap
jabatan pemerintahan dan/atau badan hukum lainnya; dan
i.
Tidak pernah
dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memiliki kekuatan hukum tetap”.
KASN dalam
melaksanakan tugas dan kewenanganya juga dibantu oleh asisten
dan Pejabat Fungsional keahlian. Disamping itu KASN juga dibantu oleh
sekretariat yang dipimpin oleh seorang kepala sekretariat. Untuk percepatan
operasionalisasi KASN, telah diterbitkan Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 118 Tahun 2014 Tentang Sekretariat, Sistem Dan Manajemen Sumber Daya
Manusia, Tata Kerja, Serta Tanggung Jawab Dan Pengelolaan Keuangan Komisi
Aparatur Sipil Negara (selanjutnya disebut Perpres No. 118). Perpres ini telah
ditindaklanjuti dengan Peraturan Ketua KASN Nomor 1 Tahun 2015 tentang Organisasi
Dan Tata Kerja Sekretariat KASN.
Eksistensi
lembaga seperti KASN sebenarnya sudah ada dalam UU Kepegawaian,
yaitu disebut dengan Komisi Kepegawaian Negara. Sebagaimana diatur dalam Pasal
13 ayat (3) UU Kepegawaian bahwa untuk membantu Presiden dalam merumuskan
kebijaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ditetapkan dengan
Keputusan Presiden. Dalam penjelasan dari Pasal 13 ayat (3) UU Kepegawaian ini
menyebutkan bahwa Komisi Kepegawaian Negara untuk dapat melaksanakan tugas
pokoknya secara objektif, maka kedudukanya bersifat independen.
Kalau kemudian kita bandingkan dengan KASN yang ada sekarang, maka KASN juga dibentuk sebagai sebuah lembaga yang
independen. Namun karena berbagai faktor, sejak diberlakukannya UU Kepegawaian
sampai dengan dicabutnya Undang-Undang tersebut, Komisi Kepegawaian Negara
sebagaimana dimaksud tidak pernah terbentuk. Hal ini harus menjadi catatan bagi
pemerintah dan seluruh stakeholders
untuk bersama-sama mengawal jangan sampai KASN bernasib
sama dengan Komisi Kepegawaian Negara.
2.3
KASN sebagai Lembaga
Penunjang (State Auxiliary Organs)
dan sebagai
Independent
Supervisiory Bodies
1. Alat-alat
perlengkapan negara yang langsung (unmittelbare
organ)
2. Alat-alat
perlengkapan negara yang tak langsung (mittelbare
organ)
Adapun ukuran langsung
atau tidaknya menurut Jellinek, ialah langsung tidaknya bersumber pada
konstitusi atau vervassung. Dalam hal
organ-organ yang langsung, maka apabila organnya tak ada, maka negaranya pun
tak ada. Dan mengenai organ yang tak langsung adanya selalu bergantung pada
organ-organ yang langsung.[8]
Selain itu,
untuk melaksanakan fungsi negara maka setiap organisasi
negara memerlukan beberapa alat perlengkapan negara sesuai dengan kebutuhannya
masing-masing. Adapun alat perlengkapan negara yang terkecil dalam organisasi
negara adalah jabatan, sehingga negara juga diartikan sebagai organisasi
jabatan (ambten organisatie). Van Vollenhoven mengemukakan bahwa organisasi negara
sebaiknya dibagi dalam empat fungsi dengan lembaga pendukungnya. Keempat fungsi
negara tersebut adalah fungsi Regeling,
Bestuur, Rechtspraak, dan Politie.
Sedangkan Goodnow membagi tugas negara dalam fungsi policy making dan policy
executing yang bila dihubungkan dengan teori Rowse akan menimbulkan jabatan
politik (political framework) dan
jabatan administratif (administrative
framework). Secara keseluruhan pembagian tugas/kerja dalam organisasi
negara dapat dibagi secara vertikal dan horizontal, yang menimbulkan pembagian
kerja secara hierarki dan dalam fungsinya.[9]
Menurut
teori alat perlengkapan negara (Die
Saatsorgane), alat perlengkapan negara bertujuan untuk merealisasikan
tujuan dan keinginan-keinginan negara (staatswill).
Alat perlengkapan negara dapat disebut dalam ragam istilah, yaitu organ,
lembaga, instansi, institusi tambahan (state
auxiliaries), badan-badan independen (independent
state bodies atau self regulatory bodies), state enterprise, dan lain-lain. Secara general, alat-alat
perlengkapan negara ini pada pokoknya dapat diklasifikasikan menjadi, organ
yang bersumber langsung dari konstitusi dan organ yang tidak bersumber langsung
dari konstitusi (derivatif). Kedua jenis organ/lembaga tersebut di atas ada
yang diharuskan untuk independen, tetapi ada yang memiliki keterkaitan
fungsional.[10]
Lembaga
dari segi fungsinya ada yang bersifat utama atau primer, dan ada pula yang
bersifat sekunder atau penunjang (auxiliary).
Sedangkan dari segi hierarkinya lembaga dapat dibedakan ke dalam tiga lapis.
Organ lapis pertama dapat disebut lembaga tinggi negara. Organ lapis kedua
disebut sebagai lembaga negara saja, sedangkan organ lapis ketiga merupakan
lembaga daerah. Di antara lembaga-lembaga tersebut ada yang dapat dikategorikan
sebagai organ utama atau primer (primary
constitutional organs), dan ada pula yang merupakan organ pendukung atau
penunjang (state auxiliary
organs/auxiliary institutions).[11]
Diantara
lembaga-lembaga itu kadang-kadang ada juga yang disebut sebagai self regulatory agencies, independent supervisiory bodies, atau
lembaga-lembaga yang menjalankan fungsi campuran (mix-function) antara fungsi-fungsi regulatif, administratif, dan fungsi penghukuman yang biasanya dipisahkan
tetapi justru dilakukan secara bersamaan oleh lembaga-lembaga baru tersebut.[12]
Lembaga
negara juga memiliki dasar hukum pembentukan yang berbeda-beda. Perbedaan dasar
hukum pembentukannya menyebabkan terjadinya perbedaan pada kedudukan lembaga
tersebut dan derajat perlakuan hukum terhadap pejabat yang duduk di lembaga
tersebut. Di tingkat pusat, pembentukan lembaga dapat dibedakan menjadi empat
tingkatan kelembagaan yaitu pertama lembaga yang dibentuk berdasarkan
Undang-Undang Dasar yang merupakan organ konstitusi. Lembaga ini kemudian
diatur lebih lanjut dalam undang-undang sebagai amanat dari konstitusi,
Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Keputusan Presiden. Pengangkatan
para anggotanya ditetapkan dengan Keputusan Presiden sebagai pejabat
administrasi negara yang tertinggi. Lembaga negara tingkat kedua, adalah lembaga yang
dibentuk berdasarkan undang-undang yang merupakan amanat langsung dari UUD
ataupun tidak merupakan amanat langsung dari UUD. Lembaga yang kemudian dibentuk melalui
undang-undang ini melibatkan DPR dan Presiden. Oleh karena itu pemberian
kewenangan ataupun pembubaran dan pengubahan bentuk lembaga-lembaga ini harus
melibatkan peran DPR dan Presiden.[13]
Pada
tingkatan ketiga adalah lembaga-lembaga yang sumber kewenangannya murni dari
presiden sebagai kepala pemerintahan, sehingga pembentukannya sepenuhnya
bersumber dari beleid
Presiden (Presidential Policy).
Artinya pembentukan, perubahan ataupun pembubarannya tergantung pada kebijakan
presiden semata. Pengaturan mengenai organisasi lembaga negara yang
bersangkutan juga cukup dituangkan dalam Peraturan Presiden yang bersifat regeling dan pengangkatan anggotanya
dilakukan dengan Keputusan Presiden yang bersifat beschikking. Kemudian lembaga yang tingkatannya lebih rendah adalah
lembaga yang dibentuk berdasarkan Peraturan Menteri. Atas inisiatif menteri
sebagai pejabat publik berdasarkan kebutuhan terkait dengan tugas-tugas
pemerintahan dan pembangunan di bidang-bidang yang menjadi tanggung jawabnya,
dapat saja berbentuk badan, dewan, ataupun panitia-panitia yang sifatnya tidak
permanen dan bersifat spesifik.[14]
Lembaga KASN dapat dikategorikan sebagai lembaga yang
tidak bersumber langsung dari konstitusi (derivatif) dan merupakan merupakan
organ pendukung atau penunjang (state
auxiliary organs/auxiliary institutions).[15] KASN juga
merupakan independent supervisiory bodies.
Sedangkan sebagai lembaga yang berfungsi menjatuhkan hukuman, KASN hanya
berwenang menentukan adanya pelanggaran kode etik dan hanya berwenang
merekomendasikan sanksi. Lebih lanjut akan diuraikan di bawah ini berdasarkan
ketentuan yang mengatur KASN:
Sifat,
Tujuan, Kedudukan, Fungsi, Tugas, dan Wewenang, serta mengenai struktur
organisasi KASN diatur oleh UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN.
KASN dapat digolongkan kedalam suatu state auxiliary organ, saat ini di
Indonesia dikenal dengan nama komisi-komisi, lembaga-lembaga Negara atau
sejenisnya.[16] Lahirnya
lembaga-lembaga tersebut pada umumnya untuk menjawab segala persoalan dalam
masyarakat yang semakin kompleks yang tidak dapat seluruhnya ditangani oleh
tiga lembaga kekuasaan utama dalam konstitusi yaitu eksekutif, legislatif dan
yudikatif sehingga diharapkan dapat membantu lembaga-lembaga negara utama
tersebut. Namun sebagian besar dibentuknya lembaga-lembaga
penunjang disebabkan karena ketidakpercayaan publik terhadap lembaga negara
yang sudah ada, sehingga memicu munculnya lembaga negara baru yang berperan
sebagai pengawas dan mengambil alih sebagian kewenangan lembaga negara yang
ada. Dengan demikian lembaga-lembaga negara baru merupakan bentuk
eksperimentasi kelembagaan (institusional
experimentation) yang dapat berbentuk dewan (council), komisi (commission),
komite (commitee), badan (board), otoritas (authority).[17] KASN menerima delegasi kekuasaan dari presiden. Selain
itu, KASN merupakan satu dari empat lembaga yang berkaitan dengan Aparatur
Sipil Negara (ASN). Berdasarkan
UU Nomor 5 Tahun 2014 Pasal 25 ayat (1), Presiden selaku pemegang kekuasaan
pemerintahan merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam kebijakan, pembinaan
profesi, dan Manajemen ASN. Pasal (2) huruf b, untuk menyelenggarakan kekuasaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Presiden mendelegasikan sebagian
kekuasaannya kepada KASN, berkaitan dengan kewenangan monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan Manajemen ASN
untuk menjamin perwujudan Sistem Merit serta pengawasan terhadap penerapan asas
serta kode etik dan kode perilaku ASN.
Berdasarkan amanat UU ASN, esensi komisi ASN dibentuk
adalah untuk mendukung percepatan pelaksanaan reformasi birokrasi dengan fokus
kepada perbaikan manajemen ASN dan peningkatan kualitas ASN. Oleh karena itu menurut Pasal
27 UU Nomor 5 Tahun 2014, KASN merupakan lembaga nonstruktural yang mandiri dan
bebas dari intervensi politik untuk menciptakan Pegawai ASN yang profesional
dan berkinerja, memberikan pelayanan secara adil dan netral, serta menjadi
perekat dan pemersatu bangsa. Pasal 30 KASN berfungsi mengawasi pelaksanaan
norma dasar, kode etik dan kode perilaku ASN, serta penerapan Sistem Merit
dalam kebijakan dan Manajemen ASN pada Instansi Pemerintah. Selain itu tugas
dan wewenang KASN diatur dalam Pasal 31 dan Pasal 32 UU ASN.
Konsep
“lelang jabatan” atau open recruitment
maupun open bidding sebenarnya
bukan hal baru dalam perspektif administrasi publik. Dalam
konsep New Public Management (NPM),
metode ini sudah dikenalkan dan dipraktekkan di negara-negara Barat dan Asia, seperti
Singapura dan New Zealand. Kita sering mendengar istilah fit and proper test dalam hal pengangkatan seseorang kedalam
jabatan-jabatan yang tergolong level pimpinan. Demikian halnya dengan konsep
“lelang jabatan” ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan fit and proper test tersebut.
Tujuannya
adalah untuk memilih aparatur yang memiliki kapasitas, kompetensi
dan integritas yang memadai untuk mengisi posisi/jabatan tertentu sehingga
dapat menjalankan tugas yang lebih efektif dan efisien.[18] “Lelang Jabatan”
merupakan salah satu cara untuk memperkecil potensi korupsi, kolusi dan
nepotisme (KKN) karena rekrutmen jabatan dilakukan secara transparan, menggunakan indikator tertentu dan dilakukan oleh
pihak yang netral dan kompeten melakukan seleksi. Tujuan lain dari “lelang
jabatan” ini adalah untuk mengikis image
negatif PNS yang selama ini melekat di masyarakat, yaitu PNS malas dan
berkinerja rendah yang diakibatkan budaya birokrasi yang masih primordial dan
cenderung feodal, budaya dilayani bukan melayani sehingga membuat PNS berorientasi kekuasaan.[19]
Euphoria
reformasi yang telah membawa perubahan besar dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia dimana salah satunya kepala daerah dipilih secara langsung oleh
rakyat, hal ini secara tidak langsung akan membuat PNS yang ada di daerah
menjadi terkotak-kotak. Kepala Daerah terpilih akan cenderung memilih dan
menempatkan orang-orang yang menjadi tim pemenanganya untuk duduk dalam jabatan-jabatan
struktural di birokrasi pemerintah daerah.
Namun
ketika persyaratan untuk menduduki jabatan ditentukan dengan jelas prosesnya,
terbuka, melalui proses kompetisi terbuka tentunya dapat menghindarkan dari
praktek politisasi birokrasi dan apabila ini dapat lakukan dengan
sungguh-sungguh, maka insentif bagi PNS untuk terlibat dalam politik praktis
dalam rangka memenangkan calon kepala daerah bisa kita hindarkan.[20]
Disamping
itu, apabila
pola “lelang jabatan” dilakukan dengan benar, maka akan dapat
mendorong mobilitas PNS antar tingkat pemerintahan dan antar sektor.[21] Berkaitan dengan kebijakan “lelang jabatan” ini di
Indonesia mulai diterapkan dengan
dikeluarkannya S.E.
KEMENPAN-RB No. 16 Tahun 2012 yang dalam salah satu bagiannya
menyatakan bahwa sesuai Grand Design
Reformasi Birokrasi yang dipertajam dengan rencana aksi Program Percepatan
Reformasi Birokrasi salah satu diantaranya adalah Program Sistem Promosi PNS
secara terbuka. Sehubungan
dengan ketentuan sebagaimana tersebut di atas, guna lebih menjamin para pejabat struktural memenuhi kompetensi jabatan
yang diperlukan oleh jabatan tersebut, perlu diadakan promosi PNS atau
pengisian jabatan berdasarkan sistem merit dan terbuka, dengan mempertimbangkan
kesinambungan karier PNS yang bersangkutan.
Perkembangan terakhir setelah disahkannya UU ASN
maka kebijakan
“lelang jabatan” telah diadopsi pula dalam UU ASN khususnya dalam mekanisme
pengisian JPT sebagaimana diatur dalam BAB IX UU ASN mulai dari Pasal 108 sampai dengan Pasal 115.
Lahirnya UU ASN dianggap sebagai
keberhasilan reformasi birokrasi yang membawa perubahan
mendasar dalam manajemen sumber daya ASN. Perubahan tersebut
membawa konsekuensi bahwa pegawai ASN merupakan suatu profesi yang memiliki kewajiban untuk melakukan pengembangan
diri dan wajib mempertanggungjawabkan
kinerja serta menerapkan prinsip merit dalam pelaksanaan manajemen ASN.
Selama ini kita mengenal
sistem merit diterapkan di kalangan birokrasi. Sistem ini menekankan kepada profesionalisme bagi
pengisian jabatan-jabatan birokrasi. Seseorang yang mempunyai kompetensi dan
keahlian sesuai yang dibutuhkan
oleh suatu jabatan bisa diangkat untuk menduduki jabatan tersebut. Cara semacam ini lazimnya dipergunakan untuk memilih
seseorang untuk jabatanjabatan
karier birokrasi, semisal dirjen, sekjen, deputi, kepala biro, dan lain sebagainya.[22]
Secara normatif pengertian
dari sistem merit dapat kita temukan dalam Pasal 1 angka 22 UU ASN. Pasal 1 angka 22 UU ASN menyatakan
bahwa “Sistem Merit adalah kebijakan dan Manajemen ASN berdasarkan pada
kualifikasi, kompetensi, dan kinerja
secara adil dan wajar dengan tanpa membedakan latar belakang politik, ras, warna kulit, agama, asal usul, jenis
kelamin, status pernikahan, umur, atau kondisi kecacatan”.
Sistem Merit (Merit
System) merupakan salah satu sistem yang terdapat dalam
administrasi kepegawaian. Secara teoritik sistem merit berdasarkan atas jasa kecakapan
seseorang pegawai dalam usaha mengangkat dan mendudukan pada jabatan tertentu.
Sistem ini lebih bersifat objektif, karena dasar pertimbangan kecakapan yang
dinilai secara objektif dari pegawai yang bersangkutan.=Karena dasar
pertimbangan seperti ini yang berlandaskan pada jasa kecakapan, maka acapkali
sistem ini di Indonesia dinamakan sistem jasa. Penilaian objektif tersebut,
pada umumnya ukuran yang dipergunakan ialah ijasah pendidikan.[23]
Adapun lawan dari sistem
merit adalah sistem patronit (Patronage
System) atau yang
biasa dikenal dengan spoil system. Penjelasan mengenai spoil system ini penting untuk dijelaskan sekedar untuk membandingkan dengan sistem merit dalam
rangka memperdalam pemahaman terhadap sistem merit tersebut.
Sistem patronit ini di
Indonesia dikenal sebagai sistem kawan, karena dasar pemikiranya dalam rangka melakukan kegiatan
administrasi kepegawaian berdasarkan kawan. Dalam sistem ini kurang
memperhatikan keahlian dan keterampilan seorang pegawai.[24] Seorang pegawai untuk dapat menduduki suatu jabatan maka yang menjadi pertimbangan adalah
kedekatan karena yang bersangkutan masih kawan dekat, sanak famili, dan ada
juga karena daerah asal yang sama. Sistem
kawan ada yang atas dasar perjuangan politik. Karena berasal dari satu aliran
politik, ideologi, dan keyakinan maka seorang pegawai yang mulanya tidak
mempunyai keahlian dan keterampilan bisa menduduki jabatan dan tugas tertentu
dalam birokrasi pemerintahan.[25] Sistem kawan atas dasar kesamaan politik inilah yang
kemudian kita kenal dengan spoil system.
Istilah ini
pada mulanya dikenal ketika presiden Amerika Serikat yang ketujuh Andrew Jackson mengadakan pergantian pejabat/pegawai
dalam pemerintahanya secara besar-besaran. Pejabat yang bukan dari golongan
partainya diganti dan kemudian didudukan pejabat-pejabat dari partainya. Karena
keadaan semacam ini senator
William L. Marcy (New York) melontarkan sindiran dengan ucapanya yang terkenal:
“to the victor belong the spoils of war”
(kepada pemenanglah semua
rampasan perang ini dikuasai). Dari istilah spoils
atau rampasan ini maka dalam
sistem kepegawaian yang mengikuti tindakan Andrew Jackson ini dinamakan sistem spoil
(spoil system).[26]
2.6
Kedudukan
dan Fungsi KASN dalam Menjamin Terwujudnya Sistem Merit dalam
Kebijakan dan Manajemen ASN
Dalam
sistem ketatanegaraan, keberadaan lembaga-lembaga independen tersebut
pelembagaannya harus disertai dengan kedudukan dan peranan (role) serta mekanisme yang jelas,
sehingga menurut Purnandi dan Soerjono Soekanto, perlu adanya status atau
kedudukan yang menjadi subjek dalam negara mencakup lembaga atau badan atau
organisasi, pejabat, dan warga negara. Sementara itu peranan (role) mencakup kekuasaan, public service, kebebasan/hak-hak asasi,
dan kewajiban terhadap kepentingan umum.[27] Menurut
Soerjono Soekanto, suatu kedudukan atau status merupakan suatu posisi dalam
sistem sosial dan biasanya senantiasa menunjuk pada tempat-tempat secara vertikal.
Namun, di dalam masyarakat diperlukan status yang ajeg (regelmatig) karena status yang ajeg (regelmatig) akan menjamin stabilitas-stabillitas pada masyarakat
sederhana. Dengan demikian, posisi yang pasti dan ajeg dari suatu lembaga akan
berpengaruh terhadap stabilitas. Mengenai peranannya (role), Soerjono Soekanto mengkategorikan berbagai peranan dalam
masyarakat menjadi tiga, yaitu: peranan yang diharapkan dari masyarakat, peranan
sebagaimana dianggap oleh masing-masing individu, peranan yang dijalankan di
dalam kenyataan. Dalam praktik ketatanegaraan, kedudukan dan peranan yang
dimiliki dan dijalankan masing-masing lembaga dan pejabatnya akan berpijak dari
konsepsi-konsepsi di atas. Dengan demikian, yang dimiliki dan dijalankan oleh
lembaga tersebut adalah sejauh kedudukan dan peranan yang ada padanya.[28]
Sendi-sendi
pemerintahan adalah bagaimana menyelenggarakan pemerintahan dalam suatu negara
dengan cara yang lebih baik dan lebih efisien.[29] Dalam teori kenegaraan dikenal dengan istilah Ratio Gubernandi. Menurut Scott dan
Hart, pembaruan (dalam bidang organisasi administrasi) tidak akan datang dari
orang-orang yang penting karena tak sesuai dengan kepentingan mereka untuk
menjadi pencetus-pencetus pembaruan. Scott dan Hart juga mengenyampingkan
orang-orang yang tidak penting (dalam arti tidak punya kekuasaan), karena
mereka adalah kelompok yang paling banyak memperoleh keuntungan sebagai pekerja dalam organisasi modern, dan karena mereka “terus-menerus diangkat-angkat”
tentang nasib baik mereka yang mampu mengkonsumsi arus produk konsumsi yang tidak pernah berakhir.
Scott dan Hart akhirnya menyimpulkan “kepraktisan pembaruan oleh orang-orang
professional”[30] Leonard
D. White: Administrasi negara bisa efektif hanya apabila ia mengintegrasikan
teori pemerintahan dengan teori administrasi.[31]
Pembentukan KASN pada dasarnya memiliki kewenangan
yang sebenarnya sudah dilakukan oleh lembaga yang telah ada. Misalnya tugas
kaitannya dengan pelaksanaan norma dasar, kode etik, dan kode perilaku ASN. Selain itu, pada Pasal 32 ayat (2) UU ASN disebutkan bahwa KASN
berwenang memutuskan adanya pelanggaran kode etik. Padahal selama ini, hal tersebut telah dilakukan oleh Pejabat Pembina
Kepegawaian dan penerapan sanksi kode etik oleh Majelis Kehormatan Kode Etik
Berdasarkan Pasal 1 angka 3 PP Nomor 42 Tahun 2004 Pembinaan Jiwa Korps dan
Kode Etik Pegawai Negeri Sipil, Majelis Kehormatan Kode Etik PNS yang
selanjutnya disingkat Majelis Kode Etik adalah lembaga non struktural pada
instansi pemerintah yang bertugas melakukan penegakan pelaksanaan serta
menyelesaikan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh PNS untuk memperoleh objektivitas dalam menentukan seorang PNS yang melanggar
kode etik, maka pada setiap instansi dibentuk Majelis Kode Etik yang
pembentukannya ditetapkan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian Pasal 17 ayat (1)
dan ayat (2).
Dalam hal penjatuhan sanksi, KASN mempunyai peranan
yang lemah bahkan bisa dikatakan tidak ada, karena berdasarkan Pasal 33 ayat
(1) dalam penjatuhan sanksi bagi Pejabat Pembina Kepegawaian yang melanggar
prinsip sistem
merit dan ketentuan peraturan perundang-undangan,
kewenangan KASN hanya sebatas merekomendasikan. Sifat rekomendasi tersebut
hanyalah dapat dijadikan bahan pertimbangan oleh Presiden untuk menjatuhkan
sanksi.
Dalam hal pembentukan
peraturan untuk pelaksanaan mejaga terlaksananya sistem Merit, lembaga KASN
tidak berwenang sama sekali karena KASN hanya melaksanakan kebijakan yang telah
digariskan oleh Kementerian PAN dan RB. Komisi harus berpedoman kepada
kebijakan-kebijakan dibidang pendayagunaan pegawai ASN yang dikeluarkan oleh
Menteri PAN dan RB dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Kebijakan yang
dikeluarkan oleh Menteri diantaranya meliputi penyusunan kebijakan rencana kerja
KASN, LAN, dan BKN dibidang manajemen ASN.[32] Oleh karena
itu, Komisi tidak dapat bertindak secara independen keluar dari
kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh Menteri PAN dan RB.
Walaupun
demikian, latar belakang dibentuknya KASN dipengaruhi oleh pelaksanaan dalam
pola perekrutan jabatan pimpinan tinggi, maupun mengenai perilaku PNS selama
ini yang dirasa sangat tidak bermoral, dan tidak berjalan dengan baik serta tidak
mencerminkan reformasi. Melihat kenyataan yang demikian, pembentukan KASN
adalah hal yang perlu apabila dikaitkan dengan Firmansyah Arifin, yang
menyatakan bahwa ada beberapa hal yang menjadi inti dan mempengaruhi banyak
pembentukan komisi negara. Hal-hal tersebut berupa:[33]
1.
Tiadanya
kredibilitas lembaga-lembaga negara yang telah ada akibat asumsi adanya korupsi
yang sistematik, mengakar, dan sulit diberantas.
2.
Tidak
independenya lembaga-lembaga negara yang ada karena satu sama lain hanya tunduk
di bawah pengaruh satu kekuasaan negara atau kekuasaan lainya.
3.
Ketidakmampuan
lembaga-lembaga negara yang ada untuk melakukan tugas-tugas yang urgen
dilakukan dalam masa transisi demokrasi karena persoalan birokrasi dan KKN.
4.
Pengaruh global,
dengan pembentukan apa yang dinamakan auxuliary
organ state agency atau watchdog
institution di banyak negara.
5.
Tekanan
lembaga-lembaga internasional, tidak hanya sebagai prasyarat untuk memasuki
pasar global, tetapi juga untuk membuat demokrasi sebagai satu-satunya jalan
bagi negara yang asalnya berada di bawah kekuasaan otoriter.
Menurut
Hendra Nurtjahjo, semakin kompleks kegiatan kenegaraan modern, maka semakin
banyak lembaga atau alat perlengkapan yang dibutuhkan. Alat perlengkapan atau
lembaga yang di-create melalui
konstitusi seringkali tidak lagi mampu menampung tugas-tugas spesifik yang
umumnnya membutuhkan independensi dan profesionalitas dalam pelaksanaannya.
Dengan demikian, bentukan alat perlengkapan atau organ (lembaga) baru merupakan
condition sine qua non bagi pertumbuhan negara pada era milenium ketiga ini.[34]
Pengalaman
praktik di banyak negara menunjukan bahwa tanpa adanya desain yang mencakup dan
menyeluruh mengenai kebutuhan akan pembentukan lembaga-lembaga negara tersebut,
yang akan dihasilkan bukan efisiensi tapi malah semakin inefisien dan
mengacaukan fungsi antar lembaga negara itu sendiri dalam mengefektifkan dan
mengefisienkan pelayanan umum (public
services). Apalagi, jika negara-negara yang sedang berkembang dipimpin oleh
mereka yang mengidap penyakit inferiority
complex yang mudah kagum untuk meniru begitu saja apa yang dipraktikan di
negara maju tanpa kesiapan sosial budaya dan kerangka kelembagaan dari
masyarakatnya untuk menerapkan ide-ide mulia yang datang dari dunia lain itu.[35]
Selain
itu apabila melihat pengaturan KASN yang dinilai masih lemah, maka yang
dikedepankan sebenarnya seperti teori yang dikemukakan Lawrence M. Friedman mengenai 3 (tiga) komponen sistem hukum,
yaitu komponen struktur, komponen substansi, dan komponen kultur.
Menurut
Lawrence M. Friedman, hukum dapat efektif berlaku karena ditunjang oleh adanya
substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Lebih tajam, Lawrence
Friedman menyatakan, “Legal systems do
not float in some cultural void, free of space and time and social context;
necessarily, they reflect what is happening in their own societies. In the long
run, they assume the shape of these societies, like a glove that molds itself
to the shape of a person’s hand.”[36] (Sistem
hukum tidak mengambang dalam kehampaan budaya, bebas ruang dan waktu dan
konteks sosial, niscaya, mereka mencerminkan apa yang terjadi dalam masyarakat
mereka sendiri. Dalam jangka panjang, mereka mengasumsikan bentuk dari
masyarakat, seperti sarung tangan yang cetakannya sendiri dengan bentuk tangan
seseorang)[37]
Dalam praktik
kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat, secara mendasar (grounded, dogmatic) dimensi kultur
seyogyanya mendahului dua dimensi lainnya, karena dalam dimensi lainnya,
tersimpan seperangkat nilai (value system).[38] Selanjutnya
sistem nilai ini menjadi dasar perumusan kebijakan (policy) dan kemudian disusul dengan pembuatan hukum (law making) sebagai rambu-rambu yuridis
dan code of conduct dalam kehidupan
masyarakat sehari-hari, yang diharapkan akan mencerminkan nilai-nilai luhur
yang dimiliki oleh bangsa yang bersangkutan.
Pada prinsipnya, konsekuensi yang dimaksud adalah
konsekuensi filosofis, yang mana pada perumusan kebijakan dan hukum itu adalah
universal, namun dalam praktek di antara ketiga-tiganya saling mengisi karena
masyarakat selalu berkembang dinamis. Menurut tinjauan kebijakan strategis (strategic policy), ialah sejauh mana
lembaga perumus kebijakan dan penyusun peraturan hukum, secara konsisten tetap
mengacu kepada sistem nilai yang filosofi itu supaya setiap garis kebijakan
aturan hukum yang tercipta, dinilai akomodatif dan responsif terhadap aspirasi
masyarakat, secara adil dengan perhatian yang merata. Kearifan politis dengan
pendekatan kultur seperti ini adalah menjadi tuntutan konstitutional seluruh
rakyat Indonesia yang struktur sosialnya penuh keanekaragaman, pluralis dan
heterogen, baragam-ragam sub etnik, agama, adat istiadat dan unsur-unsur
kulturnya.[39]
Mengingat
beratnya amanat yang diberikan oleh Undang-Undang tentang Aparatur Sipil
Negara, maka peningkatan hubungan yang sinergis antar lembaga negara yang
terkait menjadi mutlak diperlukan, agar proses transformasi menuju era aparatur
sipil negara yang profesional dapat dicapai
dengan segera. Bukan lagi zamannya untuk mengedepankan ego pribadi, ego
kelembagaan, atau ego sektoral. Seperti tagline
yang terdapat di depan lift
Kementerian PAN dan RB, yang kurang lebih tertulis: “tidak perlu merasa paling
penting, karena yang menjadi ukuran adalah kinerja.”
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan
pemaparan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Dalam hal pembentukan peraturan untuk
pelaksanaan mejaga terlaksananya sistem merit, lembaga KASN tidak berwenang
sama sekali karena KASN hanya melaksanakan kebijakan yang telah digariskan oleh
Kementerian PAN dan RB. Komisi harus berpedoman kepada kebijakan-kebijakan
dibidang pendayagunaan pegawai ASN. Meskipun demikian karena lembaga-lembaga
terkait Manajeman Aparatur Sipil Negara (termasuk PNS) dinilai tidak mempunyai
kredibilitas akibat asumsi adanya korupsi yang sistematik, mengakar dan sukit
diberantas, tidak independen karena satu sama lain hanya tunduk di bawah
pengaruh satu kekuasaan negara atau kekuasaan lainya dan ketidakmampuan untuk
melakukan tugas-tugas yang urgen dilakukan dalam masa transisi demokrasi karena
persoalan birokrasi dan KKN, maka pembentukan KASN memang harus dilakukan.
2.
Berdasarkan pada konsep penyelenggaraan pemerintahan dengan prinsip checks and balances maka Komisi ASN
melaksanakan kewenangannya dengan melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan
kebijakan dan manajemen ASN untuk menjamin terwujudnya sistem merit serta
pengawasan terhadap penerapan asas serta kode etik dan kode perilaku ASN. Lembaga KASN dapat dikategorikan sebagai
lembaga yang tidak bersumber langsung dari konstitusi (derivatif) dan merupakan
merupakan organ pendukung atau penunjang (state
auxiliary organs/auxiliary institutions). KASN juga merupakan independent supervisiory bodies.
Sedangkan sebagai lembaga yang berfungsi menjatuhkan hukuman, KASN hanya
berwenang menentukan adanya pelanggaran kode etik dan hanya berwenang
merekomendasikan sanksi.
3.
“Lelang Jabatan” merupakan salah satu cara
untuk memperkecil potensi korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) karena rekrutmen
jabatan dilakukan secara transparan, menggunakan indikator tertentu dan
dilakukan oleh pihak yang netral dan kompeten melakukan seleksi. Tujuan lain
dari “lelang jabatan” ini adalah untuk mengikis image negatif PNS yang selama ini
melekat di masyarakat, yaitu PNS malas dan berkinerja rendah yang diakibatkan
budaya birokrasi yang masih primordial dan cenderung feodal, budaya dilayani
bukan melayani sehingga membuat PNS berorientasi kekuasaan.
3.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan yang ada, terdapat beberapa
saran agar makalah selanjutnya dapat lebih sempurna. Adapun beberapa saran
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Seharusnya kedudukan KASN sebagai lembaga yang mandiri
sebagai pengawas manajemen ASN seharusnya diimbangi oleh aturan yang kuat
diantaranya mengenai tugas dan fungsi ASN dalam hal penjatuhan hukuman harus
diberikan bukan hanya rekomendasi. Peraturan yang masih tumpang tindih misalnya
mengenai Pasal pembentukan Majelis Kode Etik seharusnya di hapus karena setelah
adanya peraturan mengenai KASN kewenangan tersebut seharusnya murni ada pada
KASN.
2. Menyempurnakan sistem monitoring secara sistematik dan
evaluasi oleh KASN yang
hingga pada saat ini belum dapat dijalankan karena masih dalam proses
penyempurnaan. Hal ini akan sangat membantu fungsi
pengawasan KASN dalam melaksanakan
tugas dan wewenangannya.
3. Mempercepat
disahkannya Peraturan Pemerintah sebagaimana yang disebutkan dalam UU ASN oleh
Pemerintah, untuk meningkatkan efektifitas pelaksanaan sistem merit dalam
Manajemen ASN, terutama dalam seleksi pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Frederickson, H. George. Administrasi
Negara Baru. Jakarta: LP3ES, 1984.
Hakim, Lukman. Kedudukan
Hukum Komisi Negara di Indonesia. Cet. 1. Malang: Setara Press, 2010.
Huda, Ni’matul. Hukum
Tata Negara Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005.
M. Friedman, Lawrence. American Law An Introduction. Ed. 2.
Diterjemahkan oleh Wisnu Basuki. Jakarta: PT. Tatanusa, 2001.
Nurtjahjo, Hendra. Ilmu
Negara Pengembangan Teori Bernegara dan Suplemen. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005.
Penyusun Tim Pengajar Mata Kuliah Ilmu Negara. Ilmu Negara. Depok: Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2001.
Samiaji. Open
Recruitment Pengisian Jabatan Struktural: Pengalaman DKI Jakarta dan Kota
Samarinda. Jakarta: [s.n.], 2014.
Tauda, Gunawan A. Komisi
Negara Independen. Cet. 1.
Yogyakarta: Genta Press, 2012.
Thoha, Miftah. Birokrasi
& Politik di Indonesia. Cet. 9. Jakarta: Rajawali Pers, 2012.
Skripsi/Tesis/Distertasi
Hardiansyah, Andika. “Pengaruh
Pengawasan Fungsional terhadap Kinerja Pemerintah Daerah.” Skripsi Sarjana
Universitas Pasundan, Bandung, 2010.
Putro, Widodo Dwi “Tinjauan Kritis-Filosofis Terhadap
Paradigma Positivisme Hukum.” Disertasi Doktor Universitas Indonesia, Jakarta,
2011.
Makalah
Annisaa. “Pengawasan Komisi Aparatur
Sipil Negara dalam Seleksi Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi.” Penulisan Hukum
Sarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2015.
Lubis, Solly. Pembangunan Hukum
Nasional-Tema: Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan, diselenggarakan oleh
BPHN-Dep-Keh dan HAM RI, Denpasar 14-18 Juli 2003.
Peraturan Perundangan-undangan
Indonesia. Undang-Undang Aparatur
Sipil Negara, UU Nomor 5 Tahun 2014, LN Nomor 6 Tahun 2014, TLN Nomor 5494.
. Ps. 25
ayat (2), Ps. 29, Ps. 26 ayat (1) dan ayat
(2).
Naskah Akademik RUU Nomor 5 Tahun
2014 tentang Aparatur Sipil Negara,
Internet
http://inovasi.lan.go.id/uploads/download/1424446500_BungaRampai_6.samiaji.4.pdf, diakses tanggal 9 Mei 2017.
www.apsc.gov.au, diakses tanggal 12 Mei 2017.
http://www.menpan.go.id/daftar-kelembagaan-2, diakses tanggal 9 Mei 2017.
[1] Annisaa, “Pengawasan Komisi Aparatur Sipil Negara dalam Seleksi Pengisian
Jabatan Pimpinan Tinggi, Yogyakarta 2015 Penulisan Hukum,” (Penulisan Hukum
Sarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2015), hlm. 1. Mengutip dari
Naskah Akademik RUU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, hlm. 1.
[3] Annisaa, op.cit., hlm. 2. Mengutip dari Andika Hardiansyah, “Pengaruh
Penagwasan Fungsional terhadap Kinerja Pemerintah Daerah,” (Skripsi Sarjana
Universitas Pasundan, Bandung, 2010), hlm. 15.
[4] Lihat penjelasan umum UU ASN. Indonesia, Undang-Undang Aparatur Sipil Negara, UU Nomor 5 Tahun 2014, (LN
Nomor 6 Tahun 2014, TLN Nomor 5494).
[6] Pasal 29 Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara
menyebutkan bahwa “KASN berkedudukan di ibu kota negara.”
[10] Hendra Nurtjahjo, Ilmu Negara
Pengembangan Teori Bernegara dan Suplemen,
(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 63-64.
[11] Jimly Asshiddiqie, Perkembangan
dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta: Sinar Grafika,
cetakan kedua 2012), hlm. vii.
[16] Berdasarkan data dari Kementerian PAN dan RB, di Indonesia telah
terbentuk 28 lembaga pemerintah non kementerian (LPNK) dan 88 lembaga non
struktural. diakses dari http://www..au.go.id/daftar-kelembagaan-2, diakses tanggal 9
Mei 2017.
[17] Lukman Hakim, Kedudukan Hukum
Komisi Negara di Indonesia, Cetakan Pertama (Malang: Setara Press, 2010),
hlm. 139.
[18] Samiaji, 2014, Open Recruitment
Pengisian Jabatan Struktural : Pengalaman Dki Jakarta dan Kota Samarinda, hlm. 51, http://inovasi.lan.go.id/uploads/download/1424446500_BungaRampai_6.samiaji.4.pdf,
diakses tanggal 9 Mei 2017.
[27] Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto dalam Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, PT.
RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 219.
[29] Bandingkan dengan teori administrasi negara, yang menyatakan bahwa
administrasi negara yang konvensional dan klasik mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan:
1. Bagaimana kita dapat menyediakan pelayanan yang lebih banyak atau lebih baik
dengan sumber-sumber daya yang tersedia (efisiensi)? 2. Bagaimana kita dapat
mempertahankan tingkat pelayanan kita namun dengan mengeluarkan lebih sedikit
uang (ekonomi)? Bandingkan pula dengan teori administrasi negara baru yang
menambahkan pertanyaan: Adakah pelayanan ini meningkatkan keadilan sosial? Scott dan Hart dalam H. George Frederickson, Administrasi Negara Baru, (Jakarta: LP3ES,
1984), hlm. 58.
[33] Firmansyah Arifin, et al., Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antar
Lembaga Negara, Dikutip dari Gunawan A.Tauda, Komisi Negara Independen, Cetakan Pertama (Yogyakarta: Genta Press,
2012), hlm. 89
[34] Hendra Nurtjahjo, Ilmu Negara
Pengembangan Teori Bernegara dan Suplemen, (Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2005), hlm. 65.
[36] Lawrence Friedman, Borders: On
the Emerging Sociology of Transnational Law, Stanford Journal of International
Law 32, 1996: 72, dalam Widodo Dwi Putro, “Tinjauan Kritis-Filosofis
Terhadap Paradigma Positivisme Hukum,” (Disertasi Doktor Universitas Indonesia,
Jakarta, 2011), hlm. 15.
[37] Senada dengan Lawrence Friedman, pemikir legal realism Oliver Wendell Holmes mengatakan,”this abstraction called the law, where in, as in a magic mirror, we
see reflected, not only our own lives, but the lives of all men that have
been.” (abstraksi ini disebut hukum, di mana, sebagaimana dalam sebuah
cermin ajaib, kita melihati refleksikan, tidak hanya hidup kita sendiri, tetapi
kehidupan semua orang sebelumnya), Oliver Wendell Holmes, dalam Widodo Dwi
Putro, Ibid.
[38] Gagasan kedua, hukum itu memelihara dan mempertahankan tatanan sosial
dengan memaksakan hukum dalam interaksi sosial. Gagasan ini untuk menunjukkan
fungsi hukum sebagai penjaga ketertiban dalam mengatur interaksi sosial dan
menyelesaikan perselisihan. Karena itu, Hans Kelsen menyatakan,”law is coercive order” (hukum adalah
tatanan yang bersifat memaksa). David Dudley secara retorik mengatakan, “where there is no law there can be no
order, since order is but another name for regularity, or conformity to rule.”
(bila tidak ada hukum maka tidak ada ketertiban, karena ketertiban adalah nama
lain dari keteraturan, atau kepatuhan pada peraturan).
[39] Solly Lubis, Pembangunan Hukum Nasional-Tema:
Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan, diselenggarakan oleh BPHN-Dep-Keh dan
HAM RI, Denpasar 14-18 Juli 2003.
0 comments: