Monday, September 18, 2017

Makalah Hukum Administrasi Negara kedudukan dan Kewenangan Komisi Aparatur Sipil Negara dalam Penyelenggaraan Pemerintahan


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Aparatur Negara Republik Indonesia terdiri dari 4,7 juta pegawai aparatur sipil Negara, 360.000 anggota Polri, dan 330.000 anggota TNI.[1] Banyaknya jumlah aparatur Negara Republik Indonesia maka seharusnya semakin besar tanggung jawab pengelolaan pemerintahan Negara yang bertujuan untuk membantu dan mendukung seluruh sumber daya manusia aparatur sipil Negara untuk merealisasikan seluruh potensinya sebagai pegawai pemerintah yang menekankan hak dan kewajiban individual pegawai menuju perspektif baru yang menekankan pada manajemen pengembangan sumber daya manusia. Perubahan tersebut memerlukan manajemen pengembangan sumber daya manusia aparatur Negara agar selalu maju dan memiliki kualifikasi dan kompetensi yang diperlukan untuk melaksanakan tugas dan fungsi pemerintahan dan pembangunan selaras dengan berbagai tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia.[2]
Seiring dengan perkembangan dunia yang demikian pesat, dan seiring dengan derasnya aspirasi reformasi di dalam negeri, maka peranan penyelenggaraan pemerintahan dan administrasi publik yang baik menjadi semakin penting. Salah satu elemen yang penting dalam tata pemerintahan yang baik (Good Governance) adalah adanya akuntabilitas, disamping transparasi, penegakkan hukum dan lain sebagainya. Karena itu fungsi pengawasan merupakan unsur yang sangat penting dalam proses penyelenggaraan pemerintahan, pengawasan memiliki peran yang sangat strategis untuk terwujudnya akuntabilitas publik dalam penyelenggaraan pemerintahan. Melalui suatu kebijakan pengawasan yang komprehensif dan membina, maka diharapkan kemampuan administrasi publik yang saat ini dianggap lemah, terutama di bidang control pengawasan, dapat ditingkatkan kapasitasnya dalam rangka membangun infrastruktur birokrasi yang lebih baik.[3]
Dalam kaitannya dengan akuntabilitas publik, pengawasan merupakan salah satu cara untuk membangun dan menjaga legitimasi warga masyarakat terhadap kinerja pemerintahan dengan menciptakan suatu sistem pengawasan yang efektif, baik pengawasan intern (internal control) maupun pengawasan ekstern (external control) Di samping mendorong adanya pengawasan masyarakat (social control). Tuntutan dari masyarakat yang mengingikan terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang baik dilatarbelakangi karena adanya praktek-praktek yang tidak terpuji yang dilakukan oleh para penyelenggara pemerintahan. Penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di kalangan penyelenggara pemerintah salahs satunya disebabkan oleh kurang efektifnya pelaksanaan pengawasan yang dilakukan oleh badan pengawas. Beberapa peristiwa politik yang terjadi di negeri ini membawa dampak buruk bagi kehidupan berbangsa dan bernegara telah menghadirkan kesadaran bagu semua komponen bangsa ini untuk melakukan perubahan-perubahan yang lebih baik dan tata kelola pemerintahan yang baik. Kesalahan dan kekhilafan adalah suatu hal yang wajar yang dilakukan oleh setiap manusia. Tidak terkecuali yang dilakukan oleh aparat pemerintah selaku penyelenggara pemerintahan. Seiring dengan meluasnya tugas-tugas administrasi dalam pemyelenggaraan pemerintahan, semakin besar pula kekuasaan yang diberikan kepada aparat pemerintah untuk menyelenggarakan pemerintahan tersebut.
Oleh karena itu, diperlukanlah lembaga pengawasan yang fungsinya untuk mencegah, memberikan peringatan, dan juga menindak atau memperbaiki apabila aparat pemerintah melakukan kesalahan, sehingga dapat diminimalisir terjadinya kesalahan dan penyimpangan yang mengakibatkan kepada kerugian kepada masyarakat ataupun Negara.Salah satu unsur Negara yang layak mendapat sorotan dan perhatian dalam usaha-usaha menuju tata kelola pemerintahan yang baik ini adalah aparatur Negara Republik Indonesia.
Dengan adanya berbagai polemik tersebut mengakibatkan terbentuknya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara yang diundangkan pada tanggal 15 Januari 2014 yang telah membawa harapan baru untuk mempercepat terciptanya Aparatur Sipil Negara (ASN) yang profesional, bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat dan mampu menjalankan peran sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa dalam rangka mencapai tujuan nasional.[4] Dengan berlakunya undang-undang tersebut telah terjadi pula perubahan komposisi kelembagaan yang mengurusi urusan kepegawaian dan sumber daya aparatur negara. Terdapat 4 (empat) lembaga yang disebutkan secara eksplisit dalam undang-undang tersebut berikut fungsi, tugas, dan kewenangannya, yaitu Kementerian PAN dan RB, Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), Lembaga Administrasi Negara (LAN), dan Badan Kepegawaian Negara (BKN).[5]
Penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan efektif merupakan dambaan setiap warga Negara, hal tersebut telah menjadi tuntutan masyarakat yang selama ini hak-hak sipil mereka kurang memperoleh perhatian dan pengakuan secara layak, sekalipun hidup mereka dalam Negara hukum, Republik Indonesia. Pelayanan kepada masyarakat (pelayanan publik) dan penegakan hukum yang adil merupakan dua aspek yang tidak terpisahkan dari upaya menciptakan pemerintahan yang demokratis yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, keadilan kepastian hukum, dan kedamaian. Good Governance akan dapat terlaksana sepenuhnya apabila ada keinginan kuat (political will) penyelenggara pemerintahan dan penyelenggara Negara untuk berpegang teguh kepada peraturan perundang-undangan.
Namun realitas menunjukkan bahwa dengan adanya harapan terhadap keberadaan KASN tersebut apabila dibandingkan dengan pengaturan mengenai kedudukan, tugas dan kewenangan KASN dirasa masih lemah. Misalnya pengaturan menganai kewenangan pengawasan, yaitu berwenang melakukan pengawasan di tingkat pusat dan di tingkat daerah, akan tetapi pengaturan tentang kedudukan KASN tidak mendukung pelaksanaan wewenang tersebut agar menjangkau baik di tingkat pusat maupun daerah, karena KASN hanya berkedudukan di Ibukota Jakarta.[6] Struktur organisasi tersebut, dirasakan akan menghambat kinerja KASN misalnya dalam melakukan pengawasan pengisian jabatan pimpinan tinggi pratama di instansi pusat dan instansi daerah mulai dari pembentukan panitia seleksi sampai pada proses seleksi. Hal tersebut akan menjadi tantangan tersendiri bagi KASN karena jabatan pimpinan tinggi pratama merupakan jabatan yang dekat dengan jabatan politik sehingga mau tidak mau akan ada intervensi yang kuat dari pihak-pihak lain untuk mengintervensi pengisian jabatan pimpinan tinggi tersebut. Permasalahan lain sebagai lembaga yang mandiri, KASN tidak mempunyai fungsi regulatif maupun fungsi penghukuman karena fungsinya hanya melakukan pengawasan dan merekomendasikan penjatuhan sanksi. Terkesan KASN fungsinya tumpang tindih atau overlapping dengan lembaga lain yaitu dengan Kementerian PAN dan RB, dengan Pejabat Pembina Kepegawaian (dalam penjatuhan sanksi) atau bahkan dengan keberadaan Ombudsman RI.
Dibandingkan dengan lembaga-lembaga sejenis di negara lain misalnya dengan Australian Public Service Commission (APSC)[7] atau dengan Civil Service Commission (USA), pengaturan pengelolaan manajemen aparatur sipil negara lebih jelas dan tidak terkesan tumpang tindih bahkan Singapore Public Civil Service Commission telah dicantumakan dalam konstitusi, sehingga keberadaannya memiliki kedudukan yang lebih tinggi dan kuat.
Peran suatu lembaga/badan pengawasan sangatlah penitng untuk menjaga kinerja para aparatur Negara dalam menjalankan hak dan kewajibannya, hal ini bertujuan untuk meminimalisir kemungkinan akan terjadinya penyimpangan yang dilakukan oleh aparatur Negara. Dalam konteks membangun manajemen pemerintahan publik yang bercirikan good governance (tata kelola pemerintahan yang baik), pengawasan merupakan aspek penting untuk menjaga fungsi pemerintahan berjalan sebagaimana mestinya. Dalam konteks ini, pengawasan menjadi sama pentingnya dengan penerapan good governance itu sendiri. Pentingnya melakukan pengawasan terhadap Pegawai Aparatur Sipil Negara terrutama kepada Pejabat Pimpinan Tinggi karena Pimpinan Tingi merupakan jabatan yang strategis sehingga harus dijaga profesionalitasnya karena memiliki kemampuan yang besar untuk mempengaruhi bawahan dan orangorang di sekitarnya untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
Tidak mengherankan bahwa pelanggaran kerap ditemui di beberapa instansi pemerintah. Bentuk pelanggaran yang terjadi dalam pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi antara lain ialah intervensi politik dalam pembentukan Panitia Seleksi, pelanggaran terhadap jumlah dan komposisi Panitia Seleksi pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi, intervensi terhadap obyektifitas penilaian calon Pejabat Pimpinan Tinggi, pelanggaran prosedural proses tahap pelaksanaan seleksi, pelanggaran terhadap sistem seleksi terbuka dalam kaitannya dengan pelaksanaan Pilkada dan pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi yang masih menggunakan pola lama dengan mengandalkan Bapperjakat. Oleh sebab itu, KASN dinilai sangatlah penting sebagai lembaga pengawas aparatur sipil negara agar tidak terjadi penyimpangan dan penyelewangan jabatan dalam tata kelola pemerintahan. Berkaitan dengan pokok permasalahan tersebut maka kami mengangkat sebuah topik makalah dengan judul “Kedudukan dan Kewenangan Komisi Aparatur Sipil Negara dalam Penyelenggaraan Pemerintahan”.

1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1.       Bagaimana kedudukan dan Kewenangan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dalam penyelenggaraan pemerintahan untuk menjamin terwujudnya Sistem Merit?
2.      Bagaimana KASN sebagai lembaga penunjang (State Auxiliary Organs) dan sebagai Independent Supervisiory Bodies?
3.      Bagaimana konsep dan kebijakan “Lelang Jabatan”?

1.3  Tujuan Masalah
Berdasarkan pernyataan masalah maka tujuan yang ingin dicapai oleh penulisan makalah ini adalah:
1.      Untuk dapat mengetahui mengenai kedudukan dan Kewenangan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dalam penyelenggaraan pemerintahan untuk menjamin terwujudnya Sistem Merit.
2.      Untuk mengetahui mengenai bagaimana peran KASN sebagai lembaga penunjang (State Auxiliary Organs) dan sebagai Independent Supervisiory Bodies.
3.      Untuk memperoleh gambaran mengenai konsep dan kebijakan “Lelang Jabatan”.











BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Latar Belakang Pembentukan KASN
 Negara merupakan “gezagsorganisatie”, yaitu sebagai organisasi kewibawaan/ organisasi kekuasaan. Sehingga adanya organisasi dalam negara itu merupakan syarat mutlak dan jika negara tak ada organisasinya, maka akan menimbulkan anarchie, yang menurut Jellinek merupakan “Contradictio in objecto”, apabila negara tak memiliki organ-organ jadi tak sesuai dengan sifat hakekatnya. Jadi dalam hal ini, dalam negara kita jumpai adanya organ negara atau alat-alat perlengkapan negara.  
KASN merupakan sebuah lembaga baru dalam sistem kepegawaian di Indonesia yang diamanatkan pembentukanya oleh UU ASN. KASN sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 19 UU ASN adalah sebuah lembaga nonstruktural yang mandiri dan bebas dari intervensi politik. Lebih lanjut dalam Pasal 27 UU ASN menyebutkan bahwa “KASN merupakan lembaga nonstruktural yang mandiri dan bebas dari intervensi politik untuk menciptakan Pegawai ASN yang profesional dan berkinerja, memberikan pelayanan secara adil dan netral, serta menjadi perekat dan pemersatu bangsa”.
Keberadaan dari lembaga KASN ini dirasa sangat diperlukan ditengah-tengah ketidakpercayaan masyarakat terhadap profesionalisme dari aparatur pemerintahan serta kinerja birokrasi pemerintah baik di instansi pusat maupun daerah. Salah satu persoalan mendasar dalam sistem kepegawaian di Indonesia saat ini adalah pekerjaan tempat PNS mengabdi saat ini belum dipandang sebagai sebuah profesi yang mulia, harus dihormati, dijaga, dan dijadikan dasar dalam berbagai kebijakan dan manajemen Sumber Daya Manusia (SDM). Keadaan inilah yang melatarbelakangi pembentuk undang-undang untuk mengamanatkan pembentukan KASN dalam UU ASN. Kehadiran KASN dalam sistem kepegawaian di Indonesia juga dapat memberikan perlindungan kepada PNS yang selama ini kerapkali menjadi korban dari kesewenang-wenangan pejabat atasan. Terutama pada instansi daerah seringkali terjadi politisasi terhadap jabatan birokrasi. Banyak pejabat struktural yang menduduki jabatan tanpa kompetensi serta kemampuan yang mumpuni melainkan hanya mengandalkan kedekatan dengan kepala daerah selaku Pejabat Pembina Kepegawaian (selanjutnya disebut PPK). Sehingga prinsip the right man on the right place tidak pernah terwujud. Selain itu proses pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian PNS dengan alasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum juga sering menimpa PNS. Disinilah kemudian KASN memiliki peran yang sangat strategis dalam rangka menghadang kesewenang-wenangan dari pejabat atasan sehingga agenda reformasi birokrasi diharapkan dapat terwujud.
Hal ini sesuai dengan apa yang menjadi tujuan dibentuknya KASN. Adapun tujuan dibentuknya KASN, yaitu untuk menjamin terwujudnya Sistem Merit dalam kebijakan dan Manajemen ASN; mewujudkan ASN yang profesional, berkinerja tinggi, sejahtera, dam berfungsi sebagai sebagai perekat Negara Kesatuan Republik Indonesia; mendukung penyelenggaraan pemerintahan negara yang efektif, efisien, dan terbuka, serta bebas dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme; mewujudkan Pegawai ASN yang netral dan tidak membedakan masyarakat yang dilayani berdasarkan suku, agama, ras, dan golongan; menjamin terbentuknya profesi ASN yang dihormati pegawainya dan masyarakat; dan mewujudkan ASN yang dinamis dan berbudaya pencapaian kinerja.

KASN berkedudukan di ibukota negara. KASN berfungsi untuk mengawasi pelaksanaan norma dasar, kode etik, dan kode perilaku ASN, serta penerapan Sistem Merit dalam kebijakan dan Manajeman ASN pada Instansi Pemerintah. Untuk menjalankan semua fungsi dan tugasnya tersebut maka KASN diberikan kewenangan. Berdasarkan Pasal 32 ayat (1) UU ASN menyatakan bahwa KASN berwenang:
a.       Mengawasi setiap tahapan proses pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi mulai dari pembentukan panitia seleksi instansi, pengumuman lowongan, pelaksanaan seleksi, pengusulan nama calon, penetapan, dan pelantikan Pejabat Pimpinan Tinggi;
b.      Mengawasi dan mengevaluasi penerapan asas, nilai dasar serta kode etik dan kode perilaku Pegawai ASN;
c.       Meminta informasi dari pegawai ASN dan masyarakat mengenai laporan pelanggaran norma dasar serta kode etik dan kode perilaku Pegawai ASN;
d.      Memeriksa dokumen terkait pelanggaran norma dasar serta kode etik dan kode perilaku Pegawai ASN; dan
e.       Meminta klarifikasi dan/atau dokumen yang diperlukan dari Instansi Pemerintah untuk pemeriksaan laporan atas pelanggaran norma dasar serta kode etik dan kode perilaku Pegawai ASN.
KASN terdiri dari 7 (tujuh) orang komisioner yang diseleksi secara kompetitif baik dari unsur pemerintah dan/atau unsur non pemerintah. Setiap warga negara dapat menjadi anggota KASN apapun latar belakangnya, apakah dari LSM, akademisi, profesional, birokrat, atau aktifis sepanjang memenuhi persyaratan dapat mencalonkan diri sebagai anggota KASN.
Untuk menjamin independensi dan netralitas KASN, anggota KASN harus memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 38 ayat (2) UU ASN. Pasal 38 ayat (2) UU ASN menyatakan bahwa “Anggota KASN harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.       Warga negara Indonesia;
b.      Setia dan taat kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c.       Berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun pada saat mendaftarkan diri sebagai calon anggota KASN;
d.      Tidak sedang menjadi anggota partai politik dan/atau tidak sedang menduduki jabatan politik;
e.       Mampu secara jasmani dan rohani untuk melaksanakan tugas;
f.       Memiliki kemampuan, pengalaman, dan/atau pengetahuan di bidang manajemen sumber daya manusia;
g.      Berpendidikan paling rendah strata dua (S2) di bidang administrasi negara, manajemen sumber daya manusia, kebijakan publik, ilmu hukum, ilmu pemerintahan, dan/atau strata dua (S2) di bidang lain yang memiliki pengalaman di bidang manajemen sumber daya manusia;
h.      Tidak merangkap jabatan pemerintahan dan/atau badan hukum lainnya; dan
i.        Tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap”.
KASN dalam melaksanakan tugas dan kewenanganya juga dibantu oleh asisten dan Pejabat Fungsional keahlian. Disamping itu KASN juga dibantu oleh sekretariat yang dipimpin oleh seorang kepala sekretariat. Untuk percepatan operasionalisasi KASN, telah diterbitkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 118 Tahun 2014 Tentang Sekretariat, Sistem Dan Manajemen Sumber Daya Manusia, Tata Kerja, Serta Tanggung Jawab Dan Pengelolaan Keuangan Komisi Aparatur Sipil Negara (selanjutnya disebut Perpres No. 118). Perpres ini telah ditindaklanjuti dengan Peraturan Ketua KASN Nomor 1 Tahun 2015 tentang Organisasi Dan Tata Kerja Sekretariat KASN.
Eksistensi lembaga seperti KASN sebenarnya sudah ada dalam UU Kepegawaian, yaitu disebut dengan Komisi Kepegawaian Negara. Sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (3) UU Kepegawaian bahwa untuk membantu Presiden dalam merumuskan kebijaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Dalam penjelasan dari Pasal 13 ayat (3) UU Kepegawaian ini menyebutkan bahwa Komisi Kepegawaian Negara untuk dapat melaksanakan tugas pokoknya secara objektif, maka kedudukanya bersifat independen. Kalau kemudian kita bandingkan dengan KASN yang ada sekarang, maka KASN juga dibentuk sebagai sebuah lembaga yang independen. Namun karena berbagai faktor, sejak diberlakukannya UU Kepegawaian sampai dengan dicabutnya Undang-Undang tersebut, Komisi Kepegawaian Negara sebagaimana dimaksud tidak pernah terbentuk. Hal ini harus menjadi catatan bagi pemerintah dan seluruh stakeholders untuk bersama-sama mengawal jangan sampai KASN bernasib sama dengan Komisi Kepegawaian Negara.

2.3  KASN sebagai Lembaga Penunjang (State Auxiliary Organs) dan sebagai Independent Supervisiory Bodies
1.      Alat-alat perlengkapan negara yang langsung (unmittelbare organ)
2.      Alat-alat perlengkapan negara yang tak langsung (mittelbare organ)
Adapun ukuran langsung atau tidaknya menurut Jellinek, ialah langsung tidaknya bersumber pada konstitusi atau vervassung. Dalam hal organ-organ yang langsung, maka apabila organnya tak ada, maka negaranya pun tak ada. Dan mengenai organ yang tak langsung adanya selalu bergantung pada organ-organ yang langsung.[8]
Menurut teori alat perlengkapan negara (Die Saatsorgane), alat perlengkapan negara bertujuan untuk merealisasikan tujuan dan keinginan-keinginan negara (staatswill). Alat perlengkapan negara dapat disebut dalam ragam istilah, yaitu organ, lembaga, instansi, institusi tambahan (state auxiliaries), badan-badan independen (independent state bodies atau self regulatory bodies), state enterprise, dan lain-lain. Secara general, alat-alat perlengkapan negara ini pada pokoknya dapat diklasifikasikan menjadi, organ yang bersumber langsung dari konstitusi dan organ yang tidak bersumber langsung dari konstitusi (derivatif). Kedua jenis organ/lembaga tersebut di atas ada yang diharuskan untuk independen, tetapi ada yang memiliki keterkaitan fungsional.[10]
Lembaga dari segi fungsinya ada yang bersifat utama atau primer, dan ada pula yang bersifat sekunder atau penunjang (auxiliary). Sedangkan dari segi hierarkinya lembaga dapat dibedakan ke dalam tiga lapis. Organ lapis pertama dapat disebut lembaga tinggi negara. Organ lapis kedua disebut sebagai lembaga negara saja, sedangkan organ lapis ketiga merupakan lembaga daerah. Di antara lembaga-lembaga tersebut ada yang dapat dikategorikan sebagai organ utama atau primer (primary constitutional organs), dan ada pula yang merupakan organ pendukung atau penunjang (state auxiliary organs/auxiliary institutions).[11]
Diantara lembaga-lembaga itu kadang-kadang ada juga yang disebut sebagai self regulatory agencies, independent supervisiory bodies, atau lembaga-lembaga yang menjalankan fungsi campuran (mix-function) antara fungsi-fungsi regulatif, administratif, dan fungsi penghukuman yang biasanya dipisahkan tetapi justru dilakukan secara bersamaan oleh lembaga-lembaga baru tersebut.[12]
Lembaga negara juga memiliki dasar hukum pembentukan yang berbeda-beda. Perbedaan dasar hukum pembentukannya menyebabkan terjadinya perbedaan pada kedudukan lembaga tersebut dan derajat perlakuan hukum terhadap pejabat yang duduk di lembaga tersebut. Di tingkat pusat, pembentukan lembaga dapat dibedakan menjadi empat tingkatan kelembagaan yaitu pertama lembaga yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Dasar yang merupakan organ konstitusi. Lembaga ini kemudian diatur lebih lanjut dalam undang-undang sebagai amanat dari konstitusi, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Keputusan Presiden. Pengangkatan para anggotanya ditetapkan dengan Keputusan Presiden sebagai pejabat administrasi negara yang tertinggi. Lembaga negara tingkat kedua, adalah lembaga yang dibentuk berdasarkan undang-undang yang merupakan amanat langsung dari UUD ataupun tidak merupakan amanat langsung dari UUD.  Lembaga yang kemudian dibentuk melalui undang-undang ini melibatkan DPR dan Presiden. Oleh karena itu pemberian kewenangan ataupun pembubaran dan pengubahan bentuk lembaga-lembaga ini harus melibatkan peran DPR dan Presiden.[13]
Pada tingkatan ketiga adalah lembaga-lembaga yang sumber kewenangannya murni dari presiden sebagai kepala pemerintahan, sehingga pembentukannya sepenuhnya bersumber dari beleid Presiden (Presidential Policy). Artinya pembentukan, perubahan ataupun pembubarannya tergantung pada kebijakan presiden semata. Pengaturan mengenai organisasi lembaga negara yang bersangkutan juga cukup dituangkan dalam Peraturan Presiden yang bersifat regeling dan pengangkatan anggotanya dilakukan dengan Keputusan Presiden yang bersifat beschikking. Kemudian lembaga yang tingkatannya lebih rendah adalah lembaga yang dibentuk berdasarkan Peraturan Menteri. Atas inisiatif menteri sebagai pejabat publik berdasarkan kebutuhan terkait dengan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan di bidang-bidang yang menjadi tanggung jawabnya, dapat saja berbentuk badan, dewan, ataupun panitia-panitia yang sifatnya tidak permanen dan bersifat spesifik.[14]
Lembaga KASN dapat dikategorikan sebagai lembaga yang tidak bersumber langsung dari konstitusi (derivatif) dan merupakan merupakan organ pendukung atau penunjang (state auxiliary organs/auxiliary institutions).[15] KASN juga merupakan independent supervisiory bodies. Sedangkan sebagai lembaga yang berfungsi menjatuhkan hukuman, KASN hanya berwenang menentukan adanya pelanggaran kode etik dan hanya berwenang merekomendasikan sanksi. Lebih lanjut akan diuraikan di bawah ini berdasarkan ketentuan yang mengatur KASN:
Sifat, Tujuan, Kedudukan, Fungsi, Tugas, dan Wewenang, serta mengenai struktur organisasi KASN diatur oleh UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN.
KASN dapat digolongkan kedalam suatu state auxiliary organ, saat ini di Indonesia dikenal dengan nama komisi-komisi, lembaga-lembaga Negara atau sejenisnya.[16]  Lahirnya lembaga-lembaga tersebut pada umumnya untuk menjawab segala persoalan dalam masyarakat yang semakin kompleks yang tidak dapat seluruhnya ditangani oleh tiga lembaga kekuasaan utama dalam konstitusi yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif sehingga diharapkan dapat membantu lembaga-lembaga negara utama tersebut. Namun sebagian besar dibentuknya lembaga-lembaga penunjang disebabkan karena ketidakpercayaan publik terhadap lembaga negara yang sudah ada, sehingga memicu munculnya lembaga negara baru yang berperan sebagai pengawas dan mengambil alih sebagian kewenangan lembaga negara yang ada. Dengan demikian lembaga-lembaga negara baru merupakan bentuk eksperimentasi kelembagaan (institusional experimentation) yang dapat berbentuk dewan (council), komisi (commission), komite (commitee), badan (board), otoritas (authority).[17] KASN menerima delegasi kekuasaan dari presiden. Selain itu, KASN merupakan satu dari empat lembaga yang berkaitan dengan Aparatur Sipil Negara (ASN). Berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 2014 Pasal 25 ayat (1), Presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintahan merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam kebijakan, pembinaan profesi, dan Manajemen ASN. Pasal (2) huruf b, untuk menyelenggarakan kekuasaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Presiden mendelegasikan sebagian kekuasaannya kepada KASN, berkaitan dengan kewenangan monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan Manajemen ASN untuk menjamin perwujudan Sistem Merit serta pengawasan terhadap penerapan asas serta kode etik dan kode perilaku ASN.

Konsep “lelang jabatan” atau open recruitment maupun open bidding sebenarnya bukan hal baru dalam perspektif administrasi publik. Dalam konsep New Public Management (NPM), metode ini sudah dikenalkan dan dipraktekkan di negara-negara Barat dan Asia, seperti Singapura dan New Zealand. Kita sering mendengar istilah fit and proper test dalam hal pengangkatan seseorang kedalam jabatan-jabatan yang tergolong level pimpinan. Demikian halnya dengan konsep “lelang jabatan” ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan fit and proper test tersebut.
Tujuannya adalah untuk memilih aparatur yang memiliki kapasitas, kompetensi dan integritas yang memadai untuk mengisi posisi/jabatan tertentu sehingga dapat menjalankan tugas yang lebih efektif dan efisien.[18] “Lelang Jabatan” merupakan salah satu cara untuk memperkecil potensi korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) karena rekrutmen jabatan dilakukan secara transparan, menggunakan indikator tertentu dan dilakukan oleh pihak yang netral dan kompeten melakukan seleksi. Tujuan lain dari “lelang jabatan” ini adalah untuk mengikis image negatif PNS yang selama ini melekat di masyarakat, yaitu PNS malas dan berkinerja rendah yang diakibatkan budaya birokrasi yang masih primordial dan cenderung feodal, budaya dilayani bukan melayani sehingga membuat PNS berorientasi kekuasaan.[19]
Euphoria reformasi yang telah membawa perubahan besar dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dimana salah satunya kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat, hal ini secara tidak langsung akan membuat PNS yang ada di daerah menjadi terkotak-kotak. Kepala Daerah terpilih akan cenderung memilih dan menempatkan orang-orang yang menjadi tim pemenanganya untuk duduk dalam jabatan-jabatan struktural di birokrasi pemerintah daerah.
Namun ketika persyaratan untuk menduduki jabatan ditentukan dengan jelas prosesnya, terbuka, melalui proses kompetisi terbuka tentunya dapat menghindarkan dari praktek politisasi birokrasi dan apabila ini dapat lakukan dengan sungguh-sungguh, maka insentif bagi PNS untuk terlibat dalam politik praktis dalam rangka memenangkan calon kepala daerah bisa kita hindarkan.[20]
Disamping itu, apabila pola “lelang jabatan” dilakukan dengan benar, maka akan dapat mendorong mobilitas PNS antar tingkat pemerintahan dan antar sektor.[21] Berkaitan dengan kebijakan “lelang jabatan” ini di Indonesia mulai diterapkan dengan dikeluarkannya S.E. KEMENPAN-RB No. 16 Tahun 2012 yang dalam salah satu bagiannya menyatakan bahwa sesuai Grand Design Reformasi Birokrasi yang dipertajam dengan rencana aksi Program Percepatan Reformasi Birokrasi salah satu diantaranya adalah Program Sistem Promosi PNS secara terbuka. Sehubungan dengan ketentuan sebagaimana tersebut di atas, guna lebih menjamin para pejabat struktural memenuhi kompetensi jabatan yang diperlukan oleh jabatan tersebut, perlu diadakan promosi PNS atau pengisian jabatan berdasarkan sistem merit dan terbuka, dengan mempertimbangkan kesinambungan karier PNS yang bersangkutan. Perkembangan terakhir setelah disahkannya UU ASN maka kebijakan “lelang jabatan” telah diadopsi pula dalam UU ASN khususnya dalam mekanisme pengisian JPT sebagaimana diatur dalam BAB IX UU ASN mulai dari Pasal 108 sampai dengan Pasal 115.

Lahirnya UU ASN dianggap sebagai keberhasilan reformasi birokrasi yang membawa perubahan mendasar dalam manajemen sumber daya ASN. Perubahan tersebut membawa konsekuensi bahwa pegawai ASN merupakan suatu profesi yang memiliki kewajiban untuk melakukan pengembangan diri dan wajib mempertanggungjawabkan kinerja serta menerapkan prinsip merit dalam pelaksanaan manajemen ASN.
Selama ini kita mengenal sistem merit diterapkan di kalangan birokrasi. Sistem ini menekankan kepada profesionalisme bagi pengisian jabatan-jabatan birokrasi. Seseorang yang mempunyai kompetensi dan keahlian sesuai yang dibutuhkan oleh suatu jabatan bisa diangkat untuk menduduki jabatan tersebut. Cara semacam ini lazimnya dipergunakan untuk memilih seseorang untuk jabatanjabatan karier birokrasi, semisal dirjen, sekjen, deputi, kepala biro, dan lain sebagainya.[22]
Secara normatif pengertian dari sistem merit dapat kita temukan dalam Pasal 1 angka 22 UU ASN. Pasal 1 angka 22 UU ASN menyatakan bahwa “Sistem Merit adalah kebijakan dan Manajemen ASN berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar dengan tanpa membedakan latar belakang politik, ras, warna kulit, agama, asal usul, jenis kelamin, status pernikahan, umur, atau kondisi kecacatan”.
Sistem Merit (Merit System) merupakan salah satu sistem yang terdapat dalam administrasi kepegawaian. Secara teoritik sistem merit berdasarkan atas jasa kecakapan seseorang pegawai dalam usaha mengangkat dan mendudukan pada jabatan tertentu. Sistem ini lebih bersifat objektif, karena dasar pertimbangan kecakapan yang dinilai secara objektif dari pegawai yang bersangkutan.=Karena dasar pertimbangan seperti ini yang berlandaskan pada jasa kecakapan, maka acapkali sistem ini di Indonesia dinamakan sistem jasa. Penilaian objektif tersebut, pada umumnya ukuran yang dipergunakan ialah ijasah pendidikan.[23]
Adapun lawan dari sistem merit adalah sistem patronit (Patronage System) atau yang biasa dikenal dengan spoil system. Penjelasan mengenai spoil system ini penting untuk dijelaskan sekedar untuk membandingkan dengan sistem merit dalam rangka memperdalam pemahaman terhadap sistem merit tersebut.
Sistem patronit ini di Indonesia dikenal sebagai sistem kawan, karena dasar pemikiranya dalam rangka melakukan kegiatan administrasi kepegawaian berdasarkan kawan. Dalam sistem ini kurang memperhatikan keahlian dan keterampilan seorang pegawai.[24] Seorang pegawai untuk dapat menduduki suatu jabatan maka yang menjadi pertimbangan adalah kedekatan karena yang bersangkutan masih kawan dekat, sanak famili, dan ada juga karena daerah asal yang sama. Sistem kawan ada yang atas dasar perjuangan politik. Karena berasal dari satu aliran politik, ideologi, dan keyakinan maka seorang pegawai yang mulanya tidak mempunyai keahlian dan keterampilan bisa menduduki jabatan dan tugas tertentu dalam birokrasi pemerintahan.[25] Sistem kawan atas dasar kesamaan politik inilah yang kemudian kita kenal dengan spoil system.
Istilah ini pada mulanya dikenal ketika presiden Amerika Serikat yang ketujuh Andrew Jackson mengadakan pergantian pejabat/pegawai dalam pemerintahanya secara besar-besaran. Pejabat yang bukan dari golongan partainya diganti dan kemudian didudukan pejabat-pejabat dari partainya. Karena keadaan semacam ini senator William L. Marcy (New York) melontarkan sindiran dengan ucapanya yang terkenal: “to the victor belong the spoils of war” (kepada pemenanglah semua rampasan perang ini dikuasai). Dari istilah spoils atau rampasan ini maka dalam sistem kepegawaian yang mengikuti tindakan Andrew Jackson ini dinamakan sistem spoil (spoil system).[26]

Dalam sistem ketatanegaraan, keberadaan lembaga-lembaga independen tersebut pelembagaannya harus disertai dengan kedudukan dan peranan (role) serta mekanisme yang jelas, sehingga menurut Purnandi dan Soerjono Soekanto, perlu adanya status atau kedudukan yang menjadi subjek dalam negara mencakup lembaga atau badan atau organisasi, pejabat, dan warga negara. Sementara itu peranan (role) mencakup kekuasaan, public service, kebebasan/hak-hak asasi, dan kewajiban terhadap kepentingan umum.[27] Menurut Soerjono Soekanto, suatu kedudukan atau status merupakan suatu posisi dalam sistem sosial dan biasanya senantiasa menunjuk pada tempat-tempat secara vertikal. Namun, di dalam masyarakat diperlukan status yang ajeg (regelmatig) karena status yang ajeg (regelmatig) akan menjamin stabilitas-stabillitas pada masyarakat sederhana. Dengan demikian, posisi yang pasti dan ajeg dari suatu lembaga akan berpengaruh terhadap stabilitas. Mengenai peranannya (role), Soerjono Soekanto mengkategorikan berbagai peranan dalam masyarakat menjadi tiga, yaitu: peranan yang diharapkan dari masyarakat, peranan sebagaimana dianggap oleh masing-masing individu, peranan yang dijalankan di dalam kenyataan. Dalam praktik ketatanegaraan, kedudukan dan peranan yang dimiliki dan dijalankan masing-masing lembaga dan pejabatnya akan berpijak dari konsepsi-konsepsi di atas. Dengan demikian, yang dimiliki dan dijalankan oleh lembaga tersebut adalah sejauh kedudukan dan peranan yang ada padanya.[28]
Sendi-sendi pemerintahan adalah bagaimana menyelenggarakan pemerintahan dalam suatu negara dengan cara yang lebih baik dan lebih efisien.[29] Dalam teori kenegaraan dikenal dengan istilah Ratio Gubernandi. Menurut Scott dan Hart, pembaruan (dalam bidang organisasi administrasi) tidak akan datang dari orang-orang yang penting karena tak sesuai dengan kepentingan mereka untuk menjadi pencetus-pencetus pembaruan. Scott dan Hart juga mengenyampingkan orang-orang yang tidak penting (dalam arti tidak punya kekuasaan), karena mereka adalah kelompok yang paling banyak memperoleh keuntungan sebagai pekerja dalam organisasi modern, dan karena mereka “terus-menerus diangkat-angkat” tentang nasib baik mereka yang mampu mengkonsumsi arus produk konsumsi yang tidak pernah berakhir. Scott dan Hart akhirnya menyimpulkan “kepraktisan pembaruan oleh orang-orang professional”[30] Leonard D. White: Administrasi negara bisa efektif hanya apabila ia mengintegrasikan teori pemerintahan dengan teori administrasi.[31]
Pembentukan KASN pada dasarnya memiliki kewenangan yang sebenarnya sudah dilakukan oleh lembaga yang telah ada. Misalnya tugas kaitannya dengan pelaksanaan norma dasar, kode etik, dan kode perilaku ASN. Selain itu, pada Pasal 32 ayat (2) UU ASN disebutkan bahwa KASN berwenang memutuskan adanya pelanggaran kode etik. Padahal selama ini, hal tersebut telah dilakukan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian dan penerapan sanksi kode etik oleh Majelis Kehormatan Kode Etik Berdasarkan Pasal 1 angka 3 PP Nomor 42 Tahun 2004 Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil, Majelis Kehormatan Kode Etik PNS yang selanjutnya disingkat Majelis Kode Etik adalah lembaga non struktural pada instansi pemerintah yang bertugas melakukan penegakan pelaksanaan serta menyelesaikan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh PNS untuk memperoleh objektivitas dalam menentukan seorang PNS yang melanggar kode etik, maka pada setiap instansi dibentuk Majelis Kode Etik yang pembentukannya ditetapkan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2).
Dalam hal penjatuhan sanksi, KASN mempunyai peranan yang lemah bahkan bisa dikatakan tidak ada, karena berdasarkan Pasal 33 ayat (1) dalam penjatuhan sanksi bagi Pejabat Pembina Kepegawaian yang melanggar prinsip sistem merit dan ketentuan peraturan perundang-undangan, kewenangan KASN hanya sebatas merekomendasikan. Sifat rekomendasi tersebut hanyalah dapat dijadikan bahan pertimbangan oleh Presiden untuk menjatuhkan sanksi.
Walaupun demikian, latar belakang dibentuknya KASN dipengaruhi oleh pelaksanaan dalam pola perekrutan jabatan pimpinan tinggi, maupun mengenai perilaku PNS selama ini yang dirasa sangat tidak bermoral, dan tidak berjalan dengan baik serta tidak mencerminkan reformasi. Melihat kenyataan yang demikian, pembentukan KASN adalah hal yang perlu apabila dikaitkan dengan Firmansyah Arifin, yang menyatakan bahwa ada beberapa hal yang menjadi inti dan mempengaruhi banyak pembentukan komisi negara. Hal-hal tersebut berupa:[33]
1.      Tiadanya kredibilitas lembaga-lembaga negara yang telah ada akibat asumsi adanya korupsi yang sistematik, mengakar, dan sulit diberantas.
2.      Tidak independenya lembaga-lembaga negara yang ada karena satu sama lain hanya tunduk di bawah pengaruh satu kekuasaan negara atau kekuasaan lainya.
3.      Ketidakmampuan lembaga-lembaga negara yang ada untuk melakukan tugas-tugas yang urgen dilakukan dalam masa transisi demokrasi karena persoalan birokrasi dan KKN.
4.      Pengaruh global, dengan pembentukan apa yang dinamakan auxuliary organ state agency atau watchdog institution di banyak negara.
5.      Tekanan lembaga-lembaga internasional, tidak hanya sebagai prasyarat untuk memasuki pasar global, tetapi juga untuk membuat demokrasi sebagai satu-satunya jalan bagi negara yang asalnya berada di bawah kekuasaan otoriter.
Menurut Hendra Nurtjahjo, semakin kompleks kegiatan kenegaraan modern, maka semakin banyak lembaga atau alat perlengkapan yang dibutuhkan. Alat perlengkapan atau lembaga yang di-create melalui konstitusi seringkali tidak lagi mampu menampung tugas-tugas spesifik yang umumnnya membutuhkan independensi dan profesionalitas dalam pelaksanaannya. Dengan demikian, bentukan alat perlengkapan atau organ (lembaga) baru merupakan condition sine qua non bagi pertumbuhan negara pada era milenium ketiga ini.[34]
Pengalaman praktik di banyak negara menunjukan bahwa tanpa adanya desain yang mencakup dan menyeluruh mengenai kebutuhan akan pembentukan lembaga-lembaga negara tersebut, yang akan dihasilkan bukan efisiensi tapi malah semakin inefisien dan mengacaukan fungsi antar lembaga negara itu sendiri dalam mengefektifkan dan mengefisienkan pelayanan umum (public services). Apalagi, jika negara-negara yang sedang berkembang dipimpin oleh mereka yang mengidap penyakit inferiority complex yang mudah kagum untuk meniru begitu saja apa yang dipraktikan di negara maju tanpa kesiapan sosial budaya dan kerangka kelembagaan dari masyarakatnya untuk menerapkan ide-ide mulia yang datang dari dunia lain itu.[35]
Selain itu apabila melihat pengaturan KASN yang dinilai masih lemah, maka yang dikedepankan sebenarnya seperti teori yang dikemukakan Lawrence M. Friedman   mengenai 3 (tiga) komponen sistem hukum, yaitu komponen struktur, komponen substansi, dan komponen kultur.
Menurut Lawrence M. Friedman, hukum dapat efektif berlaku karena ditunjang oleh adanya substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Lebih tajam, Lawrence Friedman menyatakan, “Legal systems do not float in some cultural void, free of space and time and social context; necessarily, they reflect what is happening in their own societies. In the long run, they assume the shape of these societies, like a glove that molds itself to the shape of a person’s hand.”[36] (Sistem hukum tidak mengambang dalam kehampaan budaya, bebas ruang dan waktu dan konteks sosial, niscaya, mereka mencerminkan apa yang terjadi dalam masyarakat mereka sendiri. Dalam jangka panjang, mereka mengasumsikan bentuk dari masyarakat, seperti sarung tangan yang cetakannya sendiri dengan bentuk tangan seseorang)[37] Dalam praktik kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat, secara mendasar (grounded, dogmatic) dimensi kultur seyogyanya mendahului dua dimensi lainnya, karena dalam dimensi lainnya, tersimpan seperangkat nilai (value system).[38] Selanjutnya sistem nilai ini menjadi dasar perumusan kebijakan (policy) dan kemudian disusul dengan pembuatan hukum (law making) sebagai rambu-rambu yuridis dan code of conduct dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, yang diharapkan akan mencerminkan nilai-nilai luhur yang dimiliki oleh bangsa yang bersangkutan.
Pada prinsipnya, konsekuensi yang dimaksud adalah konsekuensi filosofis, yang mana pada perumusan kebijakan dan hukum itu adalah universal, namun dalam praktek di antara ketiga-tiganya saling mengisi karena masyarakat selalu berkembang dinamis. Menurut tinjauan kebijakan strategis (strategic policy), ialah sejauh mana lembaga perumus kebijakan dan penyusun peraturan hukum, secara konsisten tetap mengacu kepada sistem nilai yang filosofi itu supaya setiap garis kebijakan aturan hukum yang tercipta, dinilai akomodatif dan responsif terhadap aspirasi masyarakat, secara adil dengan perhatian yang merata. Kearifan politis dengan pendekatan kultur seperti ini adalah menjadi tuntutan konstitutional seluruh rakyat Indonesia yang struktur sosialnya penuh keanekaragaman, pluralis dan heterogen, baragam-ragam sub etnik, agama, adat istiadat dan unsur-unsur kulturnya.[39] Mengingat beratnya amanat yang diberikan oleh Undang-Undang tentang Aparatur Sipil Negara, maka peningkatan hubungan yang sinergis antar lembaga negara yang terkait menjadi mutlak diperlukan, agar proses transformasi menuju era aparatur sipil negara yang   profesional dapat dicapai dengan segera. Bukan lagi zamannya untuk mengedepankan ego pribadi, ego kelembagaan, atau ego sektoral. Seperti tagline yang terdapat di depan lift Kementerian PAN dan RB, yang kurang lebih tertulis: “tidak perlu merasa paling penting, karena yang menjadi ukuran adalah kinerja.”











BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1  Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1.      Dalam hal pembentukan peraturan untuk pelaksanaan mejaga terlaksananya sistem merit, lembaga KASN tidak berwenang sama sekali karena KASN hanya melaksanakan kebijakan yang telah digariskan oleh Kementerian PAN dan RB. Komisi harus berpedoman kepada kebijakan-kebijakan dibidang pendayagunaan pegawai ASN. Meskipun demikian karena lembaga-lembaga terkait Manajeman Aparatur Sipil Negara (termasuk PNS) dinilai tidak mempunyai kredibilitas akibat asumsi adanya korupsi yang sistematik, mengakar dan sukit diberantas, tidak independen karena satu sama lain hanya tunduk di bawah pengaruh satu kekuasaan negara atau kekuasaan lainya dan ketidakmampuan untuk melakukan tugas-tugas yang urgen dilakukan dalam masa transisi demokrasi karena persoalan birokrasi dan KKN, maka pembentukan KASN memang harus dilakukan.
2.      Berdasarkan pada konsep penyelenggaraan pemerintahan dengan prinsip checks and balances maka Komisi ASN melaksanakan kewenangannya dengan melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan manajemen ASN untuk menjamin terwujudnya sistem merit serta pengawasan terhadap penerapan asas serta kode etik dan kode perilaku ASN. Lembaga KASN dapat dikategorikan sebagai lembaga yang tidak bersumber langsung dari konstitusi (derivatif) dan merupakan merupakan organ pendukung atau penunjang (state auxiliary organs/auxiliary institutions). KASN juga merupakan independent supervisiory bodies. Sedangkan sebagai lembaga yang berfungsi menjatuhkan hukuman, KASN hanya berwenang menentukan adanya pelanggaran kode etik dan hanya berwenang merekomendasikan sanksi.
3.      “Lelang Jabatan” merupakan salah satu cara untuk memperkecil potensi korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) karena rekrutmen jabatan dilakukan secara transparan, menggunakan indikator tertentu dan dilakukan oleh pihak yang netral dan kompeten melakukan seleksi. Tujuan lain dari “lelang jabatan” ini adalah untuk mengikis image negatif PNS yang selama ini melekat di masyarakat, yaitu PNS malas dan berkinerja rendah yang diakibatkan budaya birokrasi yang masih primordial dan cenderung feodal, budaya dilayani bukan melayani sehingga membuat PNS berorientasi kekuasaan.
3.2  Saran
Berdasarkan kesimpulan yang ada, terdapat beberapa saran agar makalah selanjutnya dapat lebih sempurna. Adapun beberapa saran tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Seharusnya kedudukan KASN sebagai lembaga yang mandiri sebagai pengawas manajemen ASN seharusnya diimbangi oleh aturan yang kuat diantaranya mengenai tugas dan fungsi ASN dalam hal penjatuhan hukuman harus diberikan bukan hanya rekomendasi. Peraturan yang masih tumpang tindih misalnya mengenai Pasal pembentukan Majelis Kode Etik seharusnya di hapus karena setelah adanya peraturan mengenai KASN kewenangan tersebut seharusnya murni ada pada KASN.
2.      Menyempurnakan sistem monitoring secara sistematik dan evaluasi oleh KASN yang hingga pada saat ini belum dapat dijalankan karena masih dalam proses penyempurnaan. Hal ini akan sangat membantu fungsi pengawasan KASN dalam melaksanakan tugas dan wewenangannya.
3.      Mempercepat disahkannya Peraturan Pemerintah sebagaimana yang disebutkan dalam UU ASN oleh Pemerintah, untuk meningkatkan efektifitas pelaksanaan sistem merit dalam Manajemen ASN, terutama dalam seleksi pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi.









DAFTAR PUSTAKA

Buku
Frederickson, H. George. Administrasi Negara Baru. Jakarta: LP3ES, 1984. 
Hakim, Lukman. Kedudukan Hukum Komisi Negara di Indonesia. Cet. 1. Malang: Setara Press, 2010.
Huda, Ni’matul. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005.
M. Friedman, Lawrence. American  Law An Introduction. Ed. 2. Diterjemahkan oleh Wisnu Basuki. Jakarta: PT. Tatanusa, 2001.
Nurtjahjo, Hendra. Ilmu Negara Pengembangan Teori Bernegara dan Suplemen.  Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005.
Penyusun Tim Pengajar Mata Kuliah Ilmu Negara. Ilmu Negara. Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001.
Samiaji. Open Recruitment Pengisian Jabatan Struktural: Pengalaman DKI Jakarta dan Kota Samarinda. Jakarta: [s.n.], 2014.
Tauda, Gunawan A. Komisi Negara Independen. Cet. 1.  Yogyakarta: Genta Press, 2012.
Thoha, Miftah. Birokrasi & Politik di Indonesia. Cet. 9. Jakarta: Rajawali Pers, 2012.
Skripsi/Tesis/Distertasi
Hardiansyah, Andika. “Pengaruh Pengawasan Fungsional terhadap Kinerja Pemerintah Daerah.” Skripsi Sarjana Universitas Pasundan, Bandung, 2010.
Putro, Widodo Dwi  “Tinjauan Kritis-Filosofis Terhadap Paradigma Positivisme Hukum.” Disertasi Doktor Universitas Indonesia, Jakarta, 2011.
Makalah
Annisaa. “Pengawasan Komisi Aparatur Sipil Negara dalam Seleksi Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi.” Penulisan Hukum Sarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2015.
Lubis, Solly. Pembangunan Hukum Nasional-Tema: Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan, diselenggarakan oleh BPHN-Dep-Keh dan HAM RI, Denpasar 14-18 Juli 2003.

Peraturan Perundangan-undangan
Indonesia. Undang-Undang Aparatur Sipil Negara, UU Nomor 5 Tahun 2014, LN Nomor 6 Tahun 2014, TLN Nomor 5494.
                       . Ps. 25 ayat (2), Ps. 29, Ps. 26 ayat (1) dan ayat (2).
Naskah Akademik RUU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara,
Internet
http://inovasi.lan.go.id/uploads/download/1424446500_BungaRampai_6.samiaji.4.pdf, diakses tanggal 9 Mei 2017.
www.apsc.gov.au, diakses tanggal 12 Mei 2017.
http://www.menpan.go.id/daftar-kelembagaan-2, diakses tanggal 9 Mei 2017.




[1] Annisaa, “Pengawasan Komisi Aparatur Sipil Negara dalam Seleksi Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi, Yogyakarta 2015 Penulisan Hukum,” (Penulisan Hukum Sarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2015), hlm. 1. Mengutip dari Naskah Akademik RUU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, hlm. 1.
[2] Ibid.
[3] Annisaa, op.cit., hlm. 2. Mengutip dari Andika Hardiansyah, “Pengaruh Penagwasan Fungsional terhadap Kinerja Pemerintah Daerah,” (Skripsi Sarjana Universitas Pasundan, Bandung, 2010), hlm. 15.

[4] Lihat penjelasan umum UU ASN. Indonesia, Undang-Undang Aparatur Sipil Negara, UU Nomor 5 Tahun 2014, (LN Nomor 6 Tahun 2014, TLN Nomor 5494).
[5] Lihat Pasal 25 ayat (2) Undang-Undang Aparatur Sipil Negara.
[6] Pasal 29 Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara menyebutkan bahwa “KASN berkedudukan di ibu kota negara.”
[7] www.apsc.gov.au, diakses tanggal 12 Mei 2017.
[8] Ibid.
[10] Hendra Nurtjahjo, Ilmu Negara Pengembangan Teori Bernegara dan Suplemen,  (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 63-64.
[11] Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta: Sinar Grafika, cetakan kedua 2012), hlm. vii.
[12] Jimly Asshiddiqie, op. cit, hlm. 7.
[13] Ibid.
[14] Ibid., hlm. 52.
[15] Ibid., hlm. vii.
[16] Berdasarkan data dari Kementerian PAN dan RB, di Indonesia telah terbentuk 28 lembaga pemerintah non kementerian (LPNK) dan 88 lembaga non struktural. diakses dari http://www..au.go.id/daftar-kelembagaan-2, diakses tanggal 9 Mei 2017.
[17] Lukman Hakim, Kedudukan Hukum Komisi Negara di Indonesia, Cetakan Pertama (Malang: Setara Press, 2010), hlm. 139.
[18] Samiaji, 2014, Open Recruitment Pengisian Jabatan Struktural : Pengalaman Dki Jakarta dan Kota Samarinda, hlm. 51, http://inovasi.lan.go.id/uploads/download/1424446500_BungaRampai_6.samiaji.4.pdf, diakses tanggal 9 Mei 2017.
[19] Ibid., hlm. 54.
[20] Ibid.
[21] Ibid.
[23] Ibid., hlm. 25.
[24] Miftah Thoha II, op.cit., hlm. 24.
[25] Ibid.
[26] Ibid.
[27] Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto dalam Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 219.
[28] Soerjono Soekanto dalam Ni’matul Huda, op. cit, hlm. 220.
[29] Bandingkan dengan teori administrasi negara, yang menyatakan bahwa administrasi negara yang konvensional dan klasik mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan: 1. Bagaimana kita dapat menyediakan pelayanan yang lebih banyak atau lebih baik dengan sumber-sumber daya yang tersedia (efisiensi)? 2. Bagaimana kita dapat mempertahankan tingkat pelayanan kita namun dengan mengeluarkan lebih sedikit uang (ekonomi)? Bandingkan pula dengan teori administrasi negara baru yang menambahkan pertanyaan: Adakah pelayanan ini meningkatkan keadilan sosial? Scott dan Hart dalam H. George Frederickson, Administrasi Negara Baru, (Jakarta: LP3ES, 1984),  hlm. 58.
[30] Scott dan Hart dalam H. George Frederickson, op. cit.,  hlm. 180-181.
[32] Pasal 26 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
[33] Firmansyah Arifin, et al., Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara, Dikutip dari Gunawan A.Tauda, Komisi Negara Independen, Cetakan Pertama (Yogyakarta: Genta Press, 2012), hlm. 89
[34] Hendra Nurtjahjo, Ilmu Negara Pengembangan Teori Bernegara dan Suplemen, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 65.
[35] Jimly Asshiddiqie, op. cit., hlm. 297.
[36] Lawrence Friedman, Borders: On the Emerging Sociology of Transnational Law, Stanford Journal of International Law 32, 1996: 72, dalam Widodo Dwi Putro, “Tinjauan Kritis-Filosofis Terhadap Paradigma Positivisme Hukum,” (Disertasi Doktor Universitas Indonesia, Jakarta, 2011), hlm. 15.
[37] Senada dengan Lawrence Friedman, pemikir legal realism Oliver Wendell Holmes mengatakan,”this abstraction called the law, where in, as in a magic mirror, we see reflected, not only our own lives, but the lives of all men that have been.” (abstraksi ini disebut hukum, di mana, sebagaimana dalam sebuah cermin ajaib, kita melihati refleksikan, tidak hanya hidup kita sendiri, tetapi kehidupan semua orang sebelumnya), Oliver Wendell Holmes, dalam Widodo Dwi Putro, Ibid.
[38] Gagasan kedua, hukum itu memelihara dan mempertahankan tatanan sosial dengan memaksakan hukum dalam interaksi sosial. Gagasan ini untuk menunjukkan fungsi hukum sebagai penjaga ketertiban dalam mengatur interaksi sosial dan menyelesaikan perselisihan. Karena itu, Hans Kelsen menyatakan,”law is coercive order” (hukum adalah tatanan yang bersifat memaksa). David Dudley secara retorik mengatakan, “where there is no law there can be no order, since order is but another name for regularity, or conformity to rule.” (bila tidak ada hukum maka tidak ada ketertiban, karena ketertiban adalah nama lain dari keteraturan, atau kepatuhan pada peraturan).
[39] Solly Lubis, Pembangunan Hukum Nasional-Tema: Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan, diselenggarakan oleh BPHN-Dep-Keh dan HAM RI, Denpasar 14-18 Juli 2003.
banner
Previous Post
Next Post

0 comments: