IMPLEMENTASI
FATWA WARIS DI INDONESIA
Disusun
oleh Dicky Arisandi Nur Ichwal
Sebagai
syarat memenuhi tugas Pendidikan Agama Islam
BAB
I
PENDAHULUAN
Putusan secara pengertian umum merupakan pernyataan
hakim dalam sidang pengadilan yang dapat berupa pemidanaan, putusan bebas, atau
lepas dari segala tuntutan hukum. Produk hakim dari hasil pemeriksaan perkara
di persidangan ada 3 macam yaitu putusan, penetapan, dan akta perdamaian. Putusan
adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan
oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan
perkara gugatan (kontentius). Penetapan adalah pernyataan hakim yang dituangkan
dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum
sebagai hasil dari pemeriksaan perkara permohonan (voluntair). Sedangkan akta
perdamaian adalah akta yang dibuat oleh hakim yang berisi hasil musyawarah
antara para pihak dalam sengketa untuk mengakhiri sengketa dan berlaku sebagai
putusan.
Adapun yang kita pelajari untuk saat ini berdasarkan
UU No. 7 Tahun 1989 adalah ruang lingkup Peradilan Agama. Oleh karenanya, Pada
bagian ini akan dibahas hal-hal yang berkenaan dengan putusan lingkungan
Peradilan Agama. Pembahasan mengenai putusan Peradilan Agama bermaksud
mempermasalahkan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam pasal 57, 60, 61, 62,
63, dan pasal 64 UU No. 7 Tahun 1989. Dengan demikian, permasalahan yang akan
diuraikan meliputi persoalan bentuk keputusan Peradilan Agama, ikatan bathiniah
hakim memutus perkara, putusan berdasarkan alasan yang cukup, autentikasi
keputusan dan keputusan yang dapat dijalankan lebih dulu. Sistematika
pembahasan disusun sedemikian rupa sehingga lebih sesuai dengan wawasan
pengertian putusan.
Pembahasan tidak diurut menurut sistematika
pasal-pasal yang diutarakan di atas, karena kurang tepat runtutan prosedur yang
mengikuti tahap-tahap yang dilalui suatu putusan. Oleh karenanya, penulis
menguraikannya berdasarkan tema dengan mamusakan landasan pasal tentangnya.
Mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat dalam memberikan wawasan terkhusus
bagi mahasiswa hukum yang sarat pelajaran tak jauh dari produk-produk hukum dan
kehakiman.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. BENTUK PUTUSAN PERADILAN
AGAMA
Untuk mengetahui bentuk putusan Peradilan Agama
dapat merujuk kepada ketentuan Pasal 57 ayat (2), Pasal 59 ayat (2), Pasal 60,
Pasal 61, Pasal 62, Pasal 63 dan Pasal 64. Kemudian selain daripada pasal-pasal
yang disebut di atas, masalah bentuk putusan Peradilan Agama ditegaskan lebih
lanjut dalam penjelasan Pasal 60. Dari ketentuan-ketentuan inilah dapat
diketahui bentuk produk keputusan yang dapat dijatuhkan Peradilan Agama, yang
terdiri dari “penetapan” dan “putusan”.
Bentuk “Penetapan”
Kapan suatu putusan Peradilan Agama disebut
berbentuk penetapan ditegaskan dalam penjelasan Pasal 60. Menurut penjelasan
ini yang disebut dengan penetapan adalah putusan pengadilan atas perkara
“permohonan”. Jadi, bentuk putusan penetapan berkaitan erat dengan sifat atau
corak gugat. Putusan penetapan menyesuaikan diri dengan sifatgugat permohonan.
Gugat permohonan disederajatkan ekuivalensinya dengan penetapan. Dengan
kata lain, undang-undang menilai putusan yang sesuai dengan
gugat permohonan adalah penetapan, yang lazim juga
disebut beschikking dalam arti luas.
Tentang apa dan bagaimana yang dimaksud dengan gugat
yang bersifat permohonan, sudah dibahas
waktu membicarakan masalah gugatan. Di
situ sudah dijelaskan, gugat permohonan adalah gugat yang
bersifat volunteer dengan ciri dan berbagai asas yang melekat
pada dirinya. Untuk sekedar mengulang kembali ciri dan asas yang melekat
pada gugat volunteet yang tiada laian dari pada gugat permohonan yang
dimaksud dalam UU No. 7 tahun 1989, dapat dirirngkas sebagai berikut. Cirirnya
merupakan gugat secara ”sepihak”. Pihaknya hanya terdirir dari pemohon. Tidak
ada pihak lain lain yang ditaraik sebagai tergugat. Sekali pun terkadang
dalam permohonan ada dibawa-bawa nama orang lain, tidak ditujukan untuk
menyelesaikan persengketaan. Tujuannya hanya untuk menetapkan suatu keadaan
atau status tertentu bagi diri pemohon. Misalnya permohonan penetapan ahli
waris.
Tidak bermaksud menyelesaikan persengketaan keahliwarisan dan pembagian
harta warisan dengan pihak ahli waris yang lain. Cuman sekedar menetapkan
status pemohon sebagai ahli waris dari seorang pewaris tertentu. Ciri
selanjutnya, petitum dan amar gugat permohonan bersifat declaratoir. Petitum
yang diperbolehkan dalam gugat dan bersifat permohonan hanya bersifat declaratoir.
Oleh karena itu amar yang dijatuhkan pun harus bersifat declaratoir.
Mengenai asas yang melekat pada putusan penetapan,
pertama asas kebenaran yang melekat pada putusan hanya “kebenaran sepihak”
kebenaran yang terkandung didalam penetapan hanya kebenaran yang bernilai diri
pemohon. Kebenaranya tidak menjangkau orang lain. Dari asas ini lahirlah asas
berikutnya, yakni kekuatan mengikat penetapan hanya berlaku pada diri pemohon.
Sama sekali “tidak mengikat siapapun” kecuali hanya mengikat kepada diri pemohon
saja. Dari kedua asas ini, lahirlah asas ketiga, yang menegaskan keputusan
penetapan”tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian” kepada pihak manapun. Asas
selanjutnya, putusan penetapan “tidak mempunyai kekuatan exsekutorial”. Amarnya
saja hanya bersifat declaratoir, mana mungkin mempunyai nilai kekuatan
eksekusi! Jadi disamping putusan penetapan hanya merupakan”kebenaran sepihak”,
“tidak mengilat pada pihak lain”, “tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian”,
juga “tidak mempunyai kekuatan eksekutorial”. Putusan penetapan dapat diminta
eksekusi pada pengadilan.
Begitu analisa teoritis maupun dari segi pendekatan
praktik tentang gugat yang bersifat permohonan yang disebut juga
gugat volunteer , terutama dalam praktek di lingkungan peradilan
umum. Sudah barang tentu demikian pula penerapan yang akan di lakukan dalam
lingkungan peradilan agama dalam rangka penyesuaian diri dengan hukum acara
perdata yang berlaku dalam lingkungan peradilan umum. Kalau begitu, jika
ditinjau dari segi teoritis dan pendekatan praktik, kita kurang setuju terhadap
ketentuan pasal 66 UU No. 7 Tahun 1989. Karena menurut pasal ini, sifat gugat
cerai talak dinyatakan bersifat”permohonan” berarti, cerai talak menurut
undang-undang ini bersifat sepihak atau exparte. Tidak bersifat contradicatoir atau
tidak bersifat partai. Seolah-olah menempatkan istri sebagai objek, bukan
sebagai subjek hukum. Terasa adanya diskriminasi kategoris dan diskriminasi
normatif antara suami dan istri. Kenapa undang-undang ini tidak berani
menetapkan proses beracara dalam gugat cerai talak
bersifat contradictoir? Barangkali terlampau terpaut pada pemahaman
”fikih” yang telah menetapkan tindakan hukum talak hanya melekat pada diri
suami. Seolah-olah undang-undang ini masih erat berpegang teguh pada ajaran
klasik yang membenarkan hak suami untuk menalak istri menurut kemauan yang
diingininya. Tetapi jikalau anggapan itu diuji ke dalam Pasal 66 dan Pasa! 69
jo. Pasal 82, jelas ada kontroversi. Gugatan dinyatakan
bersifat volunter (permohonan), sehingga putusan yang dijatuhkan
berbentuk ”penetapan” dengan sifat yang ”declaratoir”. Namun proses pemeriksaan
disuruh bersifatcontradictoir. Malahan pihak istri diberi hak mutlak untuk
mengajukan upaya banding dan kasasi seperti yang dijelaskan pada Pasal 60 dan
Pasal 63.
Sebenarnya, jika sudah berani menetapkan pemeriksaan
cerai talak secara contradictoir, kenapa ragu-ragu untuk menetapkan
sifat gugatan secara contentiosa. Dengan demikian di samping
selangkah maju melakukan pembaruan hukum Islam yang dinamis, sekaligus terhapus
bayangan diskriminasi kategoris dan diskriminasi normatif dalam permasalahan
cerai talak.
Akan tetapi sudah demikian rupanya siasat yang
cdlakukan pembuat undang-undang. Tanggung-tanggung dan bersikap ragu, dan ingin
bersilat antara paham klasik dengan dinamika pembaruan, tapi dalam bentuk yang
kontroversial. Seolah-olah hendak bersembunyi di balik sehelai daun lalang.
Tidak secara jantan mengakui bahwa cerai talak mengandung ”sengketa” tetapi
hanya mengandung kewenangan dan kesewenangan suami terhadap istri. Satu-satunya
jalan yang dapat menghilangkan siasat tersebut, hanya para hakim yang berfungsi
di lingkungan Peradilan Agama. Kepada mereka sangat dituntut suatu harapan,
agar penerapan pemeriksaan perkara cerai talak jangan terjebak dari sudut pendekatan
corak gugatannya yakni yang bersifat permohonan atau volunteer. Tetapi harus
cenderung mendekati aturan proses pemeriksaan yang ditentukan undang-undang
yakni bersifat contradictoir. Biarkan sajp sifat gugatannya
permohonan atau volunteer. Biarkan saja produk bentuk putusannya ”penetapan”.
Namun lakukan cara pemeriksaannya benar- benar
bersifat contradictoir atau bersifat partai. Dengan cara pemeriksaan
yang benar-benar memberi hak, kedudukan, kesempatan kepada istri dalam makna
jangkauan yang berwawasanequal before the law, equal justice on the
law dan equal protection under the law, pasti bayangan
diskriminasi kategoris dan diskriminasi normatif yang menghantui perkara cerai
talak akan lenyap ditelan praktik peradilan.
Bentuk ”Putusan”
Bentuk keputusan Peradilan Agama yang lain ialah
”putusan”. Yang dimaksud dengan ؛ keputusan yang berbentuk putusart menurut
penjelasan Pasal 60 adalah: “keputusan pengadilan atas perkara
gugatan berdasarkan adanya sengketa”. Lazimnya gugat yang bersifat
sengketa atau yang mengandung sengketa disebut
gugat contentiosa. Dari gugat contentiosa menurut
penjelasan Pasal 60, diproduksi penyelesaian atau settlement yang
berbentuk ”putusan”.
Tentang permasalahan
gugat contentiosa sudah dibicarakan secara ringkas pada waktu menguraikan
hal-hal yang berkenaan dengan gugatan. Oleh karena itu, uraian mengenai
keputusan yang berbentuk putusan sekaligus meliputi apa yang telah diterangkan
pada bagian tersebut. Seperti yang telah diuraikan pada bagian dimaksud, setiap
gugat yang bersifatcontentiosa pada prinsipnya akan mewujudkan putusan
pengadilan yang bersifat condemnatoirdan berkekuatan ”eksekutorial”.
a. Bersifat Partai
Untuk lebih jelas memahami keputusan pengadilan yang
berbentuk “putusan” yang bersifatcondemnatoir dan “eksekutorial”, mari
kita tinjau dengan singkat ciri dan asas yang melekat pada
gugat contentiosa. Ciri utamanya, apa yang diperkarakan mengandung
sengketa antara dua atau beberapa orang anggota masyarakat terjadi hubungan
hukum timbal balik. Dari hubungan hukum yang timbal balik tersebut terjadi
perselisihan oleh karena salah satu pihak tidak melaksanakan persetujuan atau
melakukan perbuatan wanprestasi. Misalnya dalam hubungan jual beli.
Pembeli ingkar melaksanakan pembayaran harga barang yang dibeli. Hubungan hukum
suami istri dalam bentuk perkawinan, suami melanggar hak dan kewajiban,
sehingga menimbulkan perselisihan dan pertengkaran. Dalam hubungan hukum
warisan. Salah seorang ahli waris tidak memberi bagian ahli waris yang lain.
Atau bisajuga karena tindakan perbuatan melawan hukum. Suami menganiaya istri.
Seorang ahli waris merampas bagian ahli waris yang lain, dan sebagainya. Oleh
karena gugat yang contentiosa mengandung sengketa, sudah barang tentu
persengketaan tidak mungkin diselesaikan seeara sepihak. Penyelesaian setiap
sengketa mesti melibatkan dua atau beberapa pihak.
Dengan kata lain setiap penyelesaian minimal mesti
melibatkan dua pihak, yakni pihak-pihak yang bersengketa. Dari sinilah lahir
asas yang menentukan setiap gugat yang bersifat gugatancontentiosa mesti
”bersifat partai”. Ada pihak penggugat dan ada pula pihak tergugat. Setiap
perkara yang mengandung sengketa tidak bisa diselesaikan melalui gugat
“volunter” atau permohonan. Ambil contoh sengketa perceraian. Tidak bisa
diselesaikan dengan “volunter” Begitu pula sengketa pembagian harta wansan,
tidak bisa “Volunter”. Salah satu yang merasa dirugikan haknya, harus menarik
pihak lain sebagai tergugat.
b. Bersifat Contradictoir
Asas lain yang melekat pada
perkara contentiosa, proses pemeriksaan mesti
bersifat contradictoir.Maksudnya, tata cara pemeriksaan perkara dilakukan
jawab-menjawab secara ”timbal balik”. Tergugat mesti panggil menghadiri “sidang
pengadilan. Dalam sidang pemeriksaan, kepada pihak tergugat diberi hak bebas
dan leluasa untuk membela hak dan kepentingannya atas gugatan penggugat. Kepada
penggugat diberi pula hak untuk menanggapi pembelaan tergugat. Maka terjadilah
dalam pemeriksaan persidangan suatu dialog langsung dalam bentuk ”replik” dan
duplik. Di samping replik dan duplik, kepada penggugat ،libebani
kewajiban untuk membuktikan dalil gugat. Sebaliknya kepada pihak tergugat
diberi pula hak untuk mengajukan ”bukti lawan” atau tegen bewijsuntuk
melumpuhkan pembuktian penggugat. Kemudian kepada para pihak diberi hak untuk
mengajukan ”konklusi” atau ”kesimpulan”.
Begitulah asas contradictoir yang melekat
pada gugat contentiosa. Asas ini tidak boleh dilanggar sepanjang para
pihak dengan patuh menaati panggilan menghadiri pemeriksaan sidang pengadilan.
Lain halnya kalau pihak tergugat tidak mau menghadiri sidang pemeriksaan
sekalipun sudah dipanggil secara patut dan resmi. Dalam hal yang seperti itu,
undang-undang memberi pengecualian. Hakim dapat menyelesaikan perkara melalui
proses verstek sesuai dengan ketentuan Pasal 125 HIR atau Pasal 149
RBG. Pemeriksaan dan putusan dapat dilakukan hakim tanpa hadirnya tergugat.
Atau jika salah satu pihak tidak mau hadir mengikuti pemeriksaan selanjutnya
sekalipun sudah resmi diberitahu tanggal pemunduran sidang yang akan datang,
dan ketidakhadirannya tanpa alasan yang sah, pemeriksaan tetap dapat
dilanjutkan hakim. Pemeriksaan yang seperti itu tetap dianggap
bersifat contradictoir tanpa jawaban atau bantahan dari pihak yang
tidak hadir. Hal itu tersirat dalam ketentuan Pasal 127 H1R atau Pasal 151 RBG.
Dalam kasus yang seperti itu pemeriksaan perkara tidak perlu diundur. Dapat
tetap dilanjutkan walaupun pihak lawan tidak hadir. Karena dalam hal yang
seperti itu, pihak yang tidak hadir dianggap tidak sungguh-sungguh lagi membela
kepentingannya dalam perkara yang bersangkutan. Dia dianggap sudah rela
menerima apa saja yang dikemukakan pihak lawan.
c. Bersifat Condemnatoir
Oleh karena dalam perkara yang didasarkan pada
gugat contentiosa bertujuan untuk menyelesaikan persengketaan, pihak
penggugat dapat menuntut agar hakim ”menghukum” pihak tergugat. Pihak penggugat
dapat menuntut putusan condemnatoir dalam petitum gugat,
yakni meminta kepada hakim agar tergugat ”dihukum” menyerahkan, membongkar,
mengosongkan, membagi, melakukan, atau tidak melakukan sesuatu atau untuk
membayar sejumlah uang. Berdasar tuntutan petitum yang meminta
penjatuhan hukuman terhadap tergugat, hakim dapat menjatuhkan putusan yang
bersifat condemnatoir. Bentuk condemnatoimya, bisa menghukum dan
memerintahkan tergugat untuk menyerahkan, membongkar, membagi, mengosongkan,
melakukan, atau tidak melakukan atau pembayaran sejumlah
uang. Condemnatoir yang dijatuhkan, sesuai dengan apa yang diminta
penggugat dalam petitum.
Demikian prinsip yang terkandung dalam
gugat contentiosa dapat diminta dan dijatuhkan putusan yang
bersifat condemnatoir dalam salah satu amar putusan. Itu sebabnya
dalam putusan perkaracontentiosa dapat sekaligus digabung amar yang
deklarator dengan condemnatoir. Sedang dalam gugat volunteer di
samping tidak boleh mengajukan tuntutan atau petitum gugat
yangcondemnatoir, tidak mungkin sekaligus memuat amar
yang declaratoir dan condemnatoir. Yang boleh
hanya declaratoir saja. Lain halnya dalam
perkara contentiosa, amar declarator bisa langsung dibarengi
amar condemnatoir. Misalnya dalam sengketa pembagian harta warisan.
Penggugat dapat menuntut agar dijatuhkan putusan yang bersifat declarator yang
langsung dibarengi condemnatoir. Penggugat dapat menuntut agar dia
dan para tergugat dinyatakan sebagai ahli waris. Tuntutan ini jelas bersifat
declarator. Lantas tuntutan tersebut dibarengi denganpetitum untuk
menghukum para tergugat menyerahkan dan mengosongkan serta membagi harta
terperkara di antara penggugat dan para tergugat. Tuntutan ini jelas
bersifat condemnatoir. Maka berdasar petitum tersebut hakim
bisa mengabulkan sepanjang tuntutan declaratoir. Tetapi dapat pula
langsung mengabulkan keduanya. Sehingga antara
amar declaratoir berbareng bergabung dengan
amar condemnatoir. Memang secara formal setiap
amar condemnatoir harus didahului amar declaratoir. Secara
formal amar condemnatoir tidak dapat berdiri sendiri. Dia baru dapat
dijatuhkan jika didahului dengan amar declaratoir. Rasionya begini.
Tidak mungkin menyatakan seseorang berhak atas harta warisan sebelum orang yang
bersangkutan dan harta terperkara dinyatakan sebagai ahli waris dan harta
warisan dari orang tuanya. Tidak mungkin menghukum orang lain untuk menyerahkan
harta warisan tersebut kepada orang tadi sebelum dia dinyatakan sebagai orang
yang berhak atasnya.
Tidak otomatis setiap
perkara contentiosa bersifat condemnatoir. Ini perlu
diingat. Juga tidak selamanya hakim mesti menjatuhkan
amar condemnatoir pada setiap gugat contentiosa. Pada
prinsipnya, amar condemnatoir baru dapat dijatuhkan hakim apabila hal
itu diminta penggugat dalam petitum gugat. Kalau penggugat sendiri
tidak menuntut putusan yang mengandung amarcondemnatoir, bagaimana mungkin
hakim Jika penggugat tidak mengajukan petitum gugat
yangcondemnatoir, lantas hakim dalam putusannya mencantumkan
amar condemnatoir, berarti hakim telah”mengabulkan yang melebihi”
dari yang digugat. cara mengadili yang demikian dengan asasultra petitum
partium. Dan hal itu dilarang oleh Pasal 178 ayat (3) HIR atau Pasal 189
ayat (3) RBG. Kalau begitu, putusan yang timbul dan gugat contentiosa ada
kemungkinan hanya bersifatdeclaratoir, tak ubahnya seperti putusan dalam
gugat volunter? Bisa saja! Kemungkinan pertama oleh karena penggugat
sendiri tidak meminta. Petitum gugat sama sekali tidak ada menuntut
amarcondemnatoir. Kemungkinan kedua, apabila hakim mempertimbangkan tidak
tepat menjatuhkan amar yang seperti itu.
d. Mengikat Kepada Para Pihak
Keputusan pengadilan yang berbentuk putusan,
mengandung kebenaran hukum bagi para pihak yang berperkara. Apabila dari
gugatan yang bersifat contentiosa telah dijatuhkan putusan oleh
pengadilan, kemudian putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, putusan
tersebut menjadi kebenaran hukum bagi pihak yang berperkara. Berbarengan dengan
itu, putusan mengikat:
terhadap para pihak yang berperkara,
terhadap orang yang mendapat hak dari mereka, dan
terhadap ahli waris mereka,
Demikian jangkauan kekuatan mengikat putusan. Tidak
menjadi soal apakah putusan tersebut
bersifat declaratoir atau condemnatoir, dengan sendirinya
menurut hukum putusan mempunyai daya kekuatan mengikat. Berbeda dengan
putusan declaratoir yang lahir dari gugat volunteer.Daya
kekuatan mengikatnya tidak ada, kecuali dalam penetapan cerai talak. Dalam
penetapan cerai talak oleh karena pada hakikatnya tiada lain daripada
gugat contentiosa yang bersifat semu, undang-undang melengketkan
sifat kekuatan mengikat kepada suami istri. Namun secara umum penetapan yang
lahir dari gugat volunter hanya mempunyai kekuatan kepada diri
pemohon sendiri.
Oleh karena keputusan yang berbentuk putusan mempunyai
kekuatan mengikat kepada para pihak, kepada orang yang mendapat hak dari
mereka, para pihak mesti tunduk menaati putusan. Pihak yang satu dapat menuntut
pemenuhan putusan kepada pihak yang lain. Keingkaran untuk memenuhi dan
menaati, bisa menimbulkan akibat hukum.
e. Putusan Mempunyai Nilai Kekuatan Pembuktian
Hal lain yang tidak kurang pentingnya, ialah asas
nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada putusan. Sejalan dengan sifat
kekuatan mengikat yang melekat pada setiap putusan pengadilan, dengan
sendirinya menurut hukum, melekat pula nilai kekuatan pembuktian yang
menjangkau:
Para pihak yang berperkara,
Orang yang mendapat hak dari mereka, dan
Ahli waris mereka.
Maksudnya, kapan saja timbul sengketa di kemudian
hari, dan sengketa perkaranya berkaitan langsung dengan apa yang telah
tercantum dalam putusan, putusan tersebut dapat dipergunakan sebagai alat bukti
untuk melumpuhkan gugatan pihak lawan. Nilai kekuatan
Pembuktian yang terkandung di dalamnya bersifat
”seumpuma” (volledig), ”mengikat” (bindede),dan
”memaksa” (dwingend). Bahkan dalam putusan tersebut melekat
unsur ne bis in idemsebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1917 KUH
Perdata. Jadi, apabila kelak pihak lawan mengajukan gugatan mengenai
pihak-pihak yang sama, objeknya sama serta dalil gugatnya sama dengan apa yang
tercantum dalam putusan, di samping putusan mempunyai kekuatan pembuktian yang
sempuma, mengikat, dan memaksa (volledig, bifdende en dwingend
bewijskracht), di dalam putusan juga telah terkandung unsur nebis in
idem, yang mengakibatkan gugat dinyatakan tidak dapat diterima. Hal yang
seperti itu antara lain dapat dilihat dalam putusan MA tanggai 3-10-1973, No.
588 K/Sip/1973. Putusan ini menyatakan kira-kira begini. Karena perkara yang
digugat sama dengan perkara yang terdahulu baik mengenai dalil gugatan maupun
objek dan subjek perkara, sedang putusan yang terdahulu tersebut telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, di dalamnya sudah terkandung unsur nebis
in idem, dan gugatan harus dinyatakan tidak dapat diterima.
Lain halnya dengan penetapan yang lahir dari gugatan
permohonan atau volunter. Dalam keputusan yang berbentuk penetapan
tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian terhadap siapa pun. Juga, dalam
penetapan tidak akan pernah terkandung asas nebis in idem. Sebagai
salah satu contoh dapat dikemukakan putusan MA tanggai 27-6-1973, No. 144
K/Sip/1973. Pertimbangannya berbunyi: “Penetapan mengenai ahli waris dan
warisan dalam penetapan Pengadilan Negeri Gresik tanggai 14 April 1956 No.
43/1955/Pdt dan dalam putusan Pengadilan Negeri Gresik tanggai 23 November 1965
No. 66/1962/Pdt, tidak merupakan nebis in idem, oleh karena penetapan No.
43/1955/Pdt tersebut hanya bersifat declaratoir sedang dalam perkara No.
66/1962/Pdt tersebut ada sengketa antara pihak-pihak yang berkepentingan
”. Dalam putusan tersebut terdapat penegasan, putusan yang
bersifat declaratoir yang terwujud dari
gugat volunteer, tidak mengandung nebis in idem.
f. Putusan Mempunyai Kekuatan Eksekutorial
Sifat atau asas lain yang terkandung dalam keputusan
Pengadilan yang berbentuk putusan adalah kekuatan eksekutorial. Apabila dalam
putusan tercantum amar yang bersifat condemnatoir, maka dalam putusan
tersebut melekat kekuatan eksekutorial. Jika pihak yang kalah tidak mau menaati
putusan secara sukarela, putusan dapat dijalankan dengan paksa berdasar
ketentuan Pasal 195 HIR atau Pasal 206 RBG. Hal ini sesuai dengan asas yang
telah dibicarakan bahwa keputusan pengadilan yang berbentuk putusan mengikat
kepada para pihak. Di samping berkekuatan mengikat juga menuntut penaatan dan
pemenuhan. Pihak yang dijatuhi hukuman mesti taat dan memenuhi bunyi putusan.
Penaatan dan pemenuhan dapat dilakukan pihak yang dihukum dengan sukarela.
Tetapi kalau dia tidak mau menaati dan memenuhi secara sukarela, pihak yang
menang dapat menuntut pemenuhan secara paksa melalui Ketua Pengadilan yang
bersangkutan.
Sejak putusan telah memperoleh kekuatan hukum yang
tetap, dan pihak yang kalah sudah anmanmg atau diperingati dalam tempo
paling lama delapan hari, tidak juga memenuhi bunyi putusan, terwujudlah dalam
putusan kekuatan eksekutorial (excecutorial kracht). Pihak yang
berkepentingan dapat mengajukan permintaan eksekusi kepada Ketua pengadilan.
Dalam hal ini Ketua Pengadilan berwenang memerintahkan dan memimpin pelaksanaan
putusan. Untuk itu dia mengeluarkan penetapan perintah eksekusi kepada juru
sita, agar juru sita melakukan eksekusi sesuai dengan bunyi putusan.
Akan tetapi jika putusan tidak mengandung amar yang
bersifat condemnatoir, dan amamya bersifat ”deklaratif’, dalam
putusan tidak melekat kekuatan ”eksekutorial” Misalnya, terjadi sengketa antara
suami-istri mengenai harta bersama. Ternyata putusan pengadilan hanya
menyatakan harta terperkara adalah harta bersama antara suami dan istri. Tidak
ada amar lain yang menghukum atau memerintahkan pembagian. Walaupun putusan
tersebut lahir dari gugat contentiosa, tidak dapat dieksekusi. Amar
putusan hanya bersifat deklaratif, dan amar deklaratif tadi,tidak dibarengi
dengan amar condemnatoir, sehingga putusan tidak memiliki kekuatan
“eksekutorial”untuk melengketkan daya kekuatan eksekutorial dalam kasus
dimaksud, harus lagi diajukan gugat baru berupa permintaan pembagian. Jika
tidak diajukan gugat baru, selamanya putusan tidak dapat dijalankan melalui
eksekusi. Kecuali pihak yang kalah mau melaksanakan dengan sukarela, lain
soalnya. Tetapi menurut pengalaman, mana ada pihak yang berperkara mau
melaksanakan putusan dengan sukarela. Sedangkan putusan yang bersifat condemnatoir, jarang
bersedia melaksanakan secara sukarela, konon pula kalau putusan bersifat
declaratoir.
B. PELAKSANAAN PUTUSAN
Di dalam dunia peradilan, ada beberapa jenis
pelaksanaan putusan yaitu :
Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk membayar
sejumlah uang
Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk
melakukan suatu perbuatan
Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk
mengosongkan suatu benda tetap
Eksekusi riil dalam bentuk penjualan lelang
Selanjutnya, didalam mengeksekusi putusan pengadilan,
ada beberapa syarat yang harus diperhatikan antara lain :
Putusan telah berkekuatan hukum tetap kecuali dalam
hal:
1) Pelaksanaan putusan
serta merta, putusan yang dapat dilaksanakan lebih dahulu,
2) Pelaksanaan putusan
provinsi,
3) Pelaksanaan akta
perdamaian, dan
4) Pelaksanaan Grose
Akta
Putusan tidak dijalankan oleh pihak terhukum secara
suka rela meskipun ia telah diberi peringatan (aan maning) oleh ketua
pengadilan agama
Putusan hakim yang bersifat kondemnatoir, sehingga
dalam putusan diklaratoir dan konstitutif tidak diperlukan eksekusi
Eksekusi dilakukan atas perintah dan dibawah
pimpinan Ketua Pengadilan Agama
Sedangkan yang berwenang melaksanakan eksekusi
hanyalah pengadilan tingkat pertama, PTA tidak berwenang melaksanakaan
eksekusi. Sedangkan tata cara sita eksekusi sebagai berikut :
1. Ada permohonan sita eksekusi dari pihak yang
bersangkutan
2. Berdasarkan surat perintah Ketua Pengadilan
Agama, surat perintah dikeluarkan apabila :
tergugat tidak mau menghadiri panggilan peringatan
tanpa alasan yang sah
tergugat tidak mau memenuhi perintah dalam amar
putusan selama masa peringatan
3. Dilaksanakan oleh panitera atau juru sita
4. Pelaksanaan sita eksekusi harus dibantu oleh dua
orang saksi :
Keharusan adanya dua saksi merupakan syarat sah sita
eksekusi
Dua orang saksi tersebut berfungsi sebagai pembantu
sekaligus sebagai saksi sita eksekusi
Nama dan pekerjaan kedua saksi tersebut harus
dicantumkan dalam berita acara sita eksekusi
Saksi-saksi tersebut harus memenuhi syarat :
Telah berumur 21 tahun
Berstatus penduduk Indonesia
Memiliki sifat jujur
5. Sita eksekusi dilakukan di tempat obyek eksekusi
6. Membuat berita acara sita eksekusi yang memuat :
1) Nama, pekerjaan dan
tempat tinggal kedua saksi
2) Merinci secara
lengkap semua pekerjaan yang dilakukan
3) Berita acara
ditanda tangani pejabat pelaksana dan kedua saksi
4) Pihak tersita dan
juga kepala desa tidak diharuskan, menurut hukum, untuk ikut menanda tangani
berita acara sita
5) Isi berita acara
sita harus diberi tahukan kepada pihak tersita, yaitu segera pada saat itu juga
apabila ia hadir pada eks penyitaan tersebut, atau jika tidak hadir maka dalam
waktu yang secepatnya segera diberitahukan dengan menyampaikan di tempat
tinggalnya
7. Penjagaan yuridis barang yang disita diatur
sebagai berikut :
1) Penjagaan dan
penguasaan barang sita eksekusi tetap berada di tangan tersita
2) Pihak tersita tetap
bebas memakai dan menikmatinya sampai pada saat dilakukan penjualan lelang
3) Penempatan barang
sita eksekusi tetap diletakkan di tempat mana barang itu disita, tanpa
mengurangi kemungkinan memindahkannya ke tempat lain
4) Penguasaan
penjagaan tersebut harus disebutkan dalam berita acara sita
5) Mengenai barang
yang bisa habis dalam pemakaian, maka tidak boleh dipergunakan dan dinikmati
oleh tersita
8. Ketidak hadiran tersita tidak menghalangi sita
eksekusi.
Untuk lebih jelasnya mengenai pelaksanaan putusan di
lingkungan Peradilan Agama, penulis akan membahas secara tersendiri dalam
makalah yang lain dengan judul pelaksanaan atau eksekusi putusan Peradilan
Agama.
BAB
III
KESIMPULAN
Dari uraian mengenai putusan dalam ruang lingkup
Peradilan Agama, dapatlah kita ambil sekelumit kesimpulan tentangnya. Bahwa
putusan dalam pengertian umum adalah pernyataan hakim dalam sidang pengadilan
yang dapat berupa pemidanaan, putusan bebas, atau lepas dari segala tuntutan
hukum. Produk hakim dari hasil pemeriksaan perkara di persidangan ada 3 macam
yaitu putusan, penetapan, dan akta perdamaian. Adapun bentuk-bentuk putusan,
dari segi fungsinya dalam mengakhiri perkara putusan hakim adalah sebagai
berikut:
Putusan Akhir
Putusan Sela
Kemudian jika dilihat dari segi hadir tidaknya para
pihak pada saat putusan dijatuhkan, putusan dibagi sebagai berikut :
Putusan Gugur
Putusan Verstek
Putusan Kontradiktoir
Jika dilihat dari isinya terhadap gugatan/perkara,
putusan hakim dibagi sebagai berikut:
Putusan tidak menerima
Putusan menolak gugatan penggugat
Putusan mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian
dan menolak/tidak menerima selebihnya.
Putusan mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya
Sedangkan jika dilihat dari segi sifatnya terhadap
akibat hukum yang ditimbulkan, maka putusan dibagi sebagai berikut :
Putusan
Diklatoir
3. Putusan Kondemnatoir
Putusan Konstitutif
DAFTAR
PUSTAKA
Fauzan, M., Pokok-pokok Hukum Acara Perdata
Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2007.
Harahap, M. Yahya, Kedudukan Kewenangan dan
Acara Peradilan Agama, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Lubis, Sulaikin, ET AL., Hukum Acara Perdata
Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006.
0 comments: