Monday, September 18, 2017

Makalah Implementasi Fatwa Waris di Indonesia


IMPLEMENTASI FATWA WARIS DI INDONESIA
Disusun oleh Dicky Arisandi Nur Ichwal
Sebagai syarat memenuhi tugas Pendidikan Agama Islam
BAB I
PENDAHULUAN

Putusan secara pengertian umum merupakan pernyataan hakim dalam sidang pengadilan yang dapat berupa pemidanaan, putusan bebas, atau lepas dari segala tuntutan hukum. Produk hakim dari hasil pemeriksaan perkara di persidangan ada 3 macam yaitu putusan, penetapan, dan akta perdamaian. Putusan adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan (kontentius). Penetapan adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara permohonan (voluntair). Sedangkan akta perdamaian adalah akta yang dibuat oleh hakim yang berisi hasil musyawarah antara para pihak dalam sengketa untuk mengakhiri sengketa dan berlaku sebagai putusan.

Adapun yang kita pelajari untuk saat ini berdasarkan UU No. 7 Tahun 1989 adalah ruang lingkup Peradilan Agama. Oleh karenanya, Pada bagian ini akan dibahas hal-hal yang berkenaan dengan putusan lingkungan Peradilan Agama. Pembahasan mengenai putusan Peradilan Agama bermaksud mempermasalahkan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam pasal 57, 60, 61, 62, 63, dan pasal 64 UU No. 7 Tahun 1989. Dengan demikian, permasalahan yang akan diuraikan meliputi persoalan bentuk keputusan Peradilan Agama, ikatan bathiniah hakim memutus perkara, putusan berdasarkan alasan yang cukup, autentikasi keputusan dan keputusan yang dapat dijalankan lebih dulu. Sistematika pembahasan disusun sedemikian rupa sehingga lebih sesuai dengan wawasan pengertian putusan.
Pembahasan tidak diurut menurut sistematika pasal-pasal yang diutarakan di atas, karena kurang tepat runtutan prosedur yang mengikuti tahap-tahap yang dilalui suatu putusan. Oleh karenanya, penulis menguraikannya berdasarkan tema dengan mamusakan landasan pasal tentangnya. Mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat dalam memberikan wawasan terkhusus bagi mahasiswa hukum yang sarat pelajaran tak jauh dari produk-produk hukum dan kehakiman.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    BENTUK PUTUSAN PERADILAN AGAMA
Untuk mengetahui bentuk putusan Peradilan Agama dapat merujuk kepada ketentuan Pasal 57 ayat (2), Pasal 59 ayat (2), Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, Pasal 63 dan Pasal 64. Kemudian selain daripada pasal-pasal yang disebut di atas, masalah bentuk putusan Peradilan Agama ditegaskan lebih lanjut dalam penjelasan Pasal 60. Dari ketentuan-ketentuan inilah dapat diketahui bentuk produk keputusan yang dapat dijatuhkan Peradilan Agama, yang terdiri dari “penetapan” dan “putusan”.
Bentuk “Penetapan”

Kapan suatu putusan Peradilan Agama disebut berbentuk penetapan ditegaskan dalam penjelasan Pasal 60. Menurut penjelasan ini yang disebut dengan penetapan adalah putusan pengadilan atas perkara “permohonan”. Jadi, bentuk putusan penetapan berkaitan erat dengan sifat atau corak gugat. Putusan penetapan menyesuaikan diri dengan sifatgugat permohonan. Gugat permohonan disederajatkan ekuivalensinya dengan penetapan. Dengan kata lain, undang-undang menilai putusan yang sesuai dengan gugat permohonan adalah penetapan, yang lazim juga disebut beschikking dalam arti luas.

Tentang apa dan bagaimana yang dimaksud dengan gugat yang bersifat permohonan, sudah dibahas 
waktu membicarakan masalah gugatan. Di situ sudah dijelaskan, gugat permohonan adalah gugat yang bersifat  volunteer dengan ciri dan berbagai asas yang melekat pada dirinya. Untuk sekedar mengulang  kembali ciri dan asas yang melekat pada gugat volunteet yang tiada laian dari pada gugat permohonan yang dimaksud dalam UU No. 7 tahun 1989, dapat dirirngkas sebagai berikut. Cirirnya merupakan gugat secara ”sepihak”. Pihaknya hanya terdirir dari pemohon. Tidak ada pihak lain  lain yang ditaraik sebagai tergugat. Sekali pun terkadang dalam permohonan ada dibawa-bawa nama orang lain, tidak ditujukan untuk menyelesaikan persengketaan. Tujuannya hanya untuk menetapkan suatu keadaan atau status tertentu bagi diri pemohon. Misalnya permohonan penetapan ahli waris. 

Tidak bermaksud menyelesaikan persengketaan keahliwarisan dan pembagian harta warisan dengan pihak ahli waris yang lain. Cuman sekedar menetapkan status pemohon sebagai ahli waris dari seorang pewaris tertentu. Ciri selanjutnya, petitum dan amar gugat permohonan bersifat declaratoir. Petitum yang diperbolehkan dalam gugat dan bersifat permohonan hanya bersifat declaratoir. Oleh karena itu amar yang dijatuhkan pun harus bersifat declaratoir.

Mengenai asas yang melekat pada putusan penetapan, pertama asas kebenaran yang melekat pada putusan hanya “kebenaran sepihak” kebenaran yang terkandung didalam penetapan hanya kebenaran yang bernilai diri pemohon. Kebenaranya tidak menjangkau orang lain. Dari asas ini lahirlah asas berikutnya, yakni kekuatan mengikat penetapan hanya berlaku pada diri pemohon. Sama sekali “tidak mengikat siapapun” kecuali hanya mengikat kepada diri pemohon saja. Dari kedua asas ini, lahirlah asas ketiga, yang menegaskan keputusan penetapan”tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian” kepada pihak manapun. Asas selanjutnya, putusan penetapan “tidak mempunyai kekuatan exsekutorial”. Amarnya saja hanya bersifat declaratoir, mana mungkin mempunyai nilai kekuatan eksekusi! Jadi disamping putusan penetapan hanya merupakan”kebenaran sepihak”, “tidak mengilat pada pihak lain”, “tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian”, juga “tidak mempunyai kekuatan eksekutorial”. Putusan penetapan dapat diminta eksekusi pada pengadilan.

Begitu analisa teoritis maupun dari segi pendekatan praktik tentang gugat yang bersifat permohonan yang disebut juga gugat volunteer , terutama dalam praktek di lingkungan peradilan umum. Sudah barang tentu demikian pula penerapan yang akan di lakukan dalam lingkungan peradilan agama dalam rangka penyesuaian diri dengan hukum acara perdata yang berlaku dalam lingkungan peradilan umum. Kalau begitu, jika ditinjau dari segi teoritis dan pendekatan praktik, kita kurang setuju terhadap ketentuan pasal 66 UU No. 7 Tahun 1989. Karena menurut pasal ini, sifat gugat cerai talak dinyatakan bersifat”permohonan” berarti, cerai talak menurut undang-undang ini bersifat sepihak atau exparte. Tidak bersifat contradicatoir atau tidak bersifat partai. Seolah-olah menempatkan istri sebagai objek, bukan sebagai subjek hukum. Terasa adanya diskriminasi kategoris dan diskriminasi normatif antara suami dan istri. Kenapa undang-undang ini tidak berani menetapkan proses beracara dalam gugat cerai talak bersifat contradictoir? Barangkali terlampau terpaut pada pemahaman ”fikih” yang telah menetapkan tindakan hukum talak hanya melekat pada diri suami. Seolah-olah undang-undang ini masih erat berpegang teguh pada ajaran klasik yang membenarkan hak suami untuk menalak istri menurut kemauan yang diingininya. Tetapi jikalau anggapan itu diuji ke dalam Pasal 66 dan Pasa! 69 jo. Pasal 82, jelas ada kontroversi. Gugatan dinyatakan bersifat volunter (permohonan), sehingga putusan yang dijatuhkan berbentuk ”penetapan” dengan sifat yang ”declaratoir”. Namun proses pemeriksaan disuruh bersifatcontradictoir. Malahan pihak istri diberi hak mutlak untuk mengajukan upaya banding dan kasasi seperti yang dijelaskan pada Pasal 60 dan Pasal 63.

Sebenarnya, jika sudah berani menetapkan pemeriksaan cerai talak secara contradictoir, kenapa ragu-ragu untuk menetapkan sifat gugatan secara contentiosa. Dengan demikian di samping selangkah maju melakukan pembaruan hukum Islam yang dinamis, sekaligus terhapus bayangan diskriminasi kategoris dan diskriminasi normatif dalam permasalahan cerai talak.

Akan tetapi sudah demikian rupanya siasat yang cdlakukan pembuat undang-undang. Tanggung-tanggung dan bersikap ragu, dan ingin bersilat antara paham klasik dengan dinamika pembaruan, tapi dalam bentuk yang kontroversial. Seolah-olah hendak bersembunyi di balik sehelai daun lalang. Tidak secara jantan mengakui bahwa cerai talak mengandung ”sengketa” tetapi hanya mengandung kewenangan dan kesewenangan suami terhadap istri. Satu-satunya jalan yang dapat menghilangkan siasat tersebut, hanya para hakim yang berfungsi di lingkungan Peradilan Agama. Kepada mereka sangat dituntut suatu harapan, agar penerapan pemeriksaan perkara cerai talak jangan terjebak dari sudut pendekatan corak gugatannya yakni yang bersifat permohonan atau volunteer. Tetapi harus cenderung mendekati aturan proses pemeriksaan yang ditentukan undang-undang yakni bersifat contradictoir. Biarkan sajp sifat gugatannya permohonan atau volunteer. Biarkan saja produk bentuk putusannya ”penetapan”. Namun lakukan cara pemeriksaannya benar- benar bersifat contradictoir atau bersifat partai. Dengan cara pemeriksaan yang benar-benar memberi hak, kedudukan, kesempatan kepada istri dalam makna jangkauan yang berwawasanequal before the law, equal justice on the law dan equal protection under the law, pasti bayangan diskriminasi kategoris dan diskriminasi normatif yang menghantui perkara cerai talak akan lenyap ditelan praktik peradilan.

Bentuk ”Putusan”
Bentuk keputusan Peradilan Agama yang lain ialah ”putusan”. Yang dimaksud dengan ؛ keputusan yang berbentuk putusart menurut penjelasan Pasal 60 adalah: “keputusan pengadilan atas perkara gugatan berdasarkan adanya sengketa”. Lazimnya gugat yang bersifat sengketa atau yang mengandung sengketa disebut gugat contentiosa. Dari gugat contentiosa menurut penjelasan Pasal 60, diproduksi penyelesaian atau settlement yang berbentuk ”putusan”.

Tentang permasalahan gugat contentiosa sudah dibicarakan secara ringkas pada waktu menguraikan hal-hal yang berkenaan dengan gugatan. Oleh karena itu, uraian mengenai keputusan yang berbentuk putusan sekaligus meliputi apa yang telah diterangkan pada bagian tersebut. Seperti yang telah diuraikan pada bagian dimaksud, setiap gugat yang bersifatcontentiosa pada prinsipnya akan mewujudkan putusan pengadilan yang bersifat condemnatoirdan berkekuatan ”eksekutorial”.

a. Bersifat Partai
Untuk lebih jelas memahami keputusan pengadilan yang berbentuk “putusan” yang bersifatcondemnatoir dan “eksekutorial”, mari kita tinjau dengan singkat ciri dan asas yang melekat pada gugat contentiosa. Ciri utamanya, apa yang diperkarakan mengandung sengketa antara dua atau beberapa orang anggota masyarakat terjadi hubungan hukum timbal balik. Dari hubungan hukum yang timbal balik tersebut terjadi perselisihan oleh karena salah satu pihak tidak melaksanakan persetujuan atau melakukan perbuatan wanprestasi. Misalnya dalam hubungan jual beli. Pembeli ingkar melaksanakan pembayaran harga barang yang dibeli. Hubungan hukum suami istri dalam bentuk perkawinan, suami melanggar hak dan kewajiban, sehingga menimbulkan perselisihan dan pertengkaran. Dalam hubungan hukum warisan. Salah seorang ahli waris tidak memberi bagian ahli waris yang lain. Atau bisajuga karena tindakan perbuatan melawan hukum. Suami menganiaya istri. Seorang ahli waris merampas bagian ahli waris yang lain, dan sebagainya. Oleh karena gugat yang contentiosa mengandung sengketa, sudah barang tentu persengketaan tidak mungkin diselesaikan seeara sepihak. Penyelesaian setiap sengketa mesti melibatkan dua atau beberapa pihak.

Dengan kata lain setiap penyelesaian minimal mesti melibatkan dua pihak, yakni pihak-pihak yang bersengketa. Dari sinilah lahir asas yang menentukan setiap gugat yang bersifat gugatancontentiosa mesti ”bersifat partai”. Ada pihak penggugat dan ada pula pihak tergugat. Setiap perkara yang mengandung sengketa tidak bisa diselesaikan melalui gugat “volunter” atau permohonan. Ambil contoh sengketa perceraian. Tidak bisa diselesaikan dengan “volunter” Begitu pula sengketa pembagian harta wansan, tidak bisa “Volunter”. Salah satu yang merasa dirugikan haknya, harus menarik pihak lain sebagai tergugat.

b. Bersifat Contradictoir
Asas lain yang melekat pada perkara contentiosa, proses pemeriksaan mesti bersifat contradictoir.Maksudnya, tata cara pemeriksaan perkara dilakukan jawab-menjawab secara ”timbal balik”. Tergugat mesti panggil menghadiri “sidang pengadilan. Dalam sidang pemeriksaan, kepada pihak tergugat diberi hak bebas dan leluasa untuk membela hak dan kepentingannya atas gugatan penggugat. Kepada penggugat diberi pula hak untuk menanggapi pembelaan tergugat. Maka terjadilah dalam pemeriksaan persidangan suatu dialog langsung dalam bentuk ”replik” dan duplik. Di samping replik dan duplik, kepada penggugat ،libebani kewajiban untuk membuktikan dalil gugat. Sebaliknya kepada pihak tergugat diberi pula hak untuk mengajukan ”bukti lawan” atau tegen bewijsuntuk melumpuhkan pembuktian penggugat. Kemudian kepada para pihak diberi hak untuk mengajukan ”konklusi” atau ”kesimpulan”.

Begitulah asas contradictoir yang melekat pada gugat contentiosa. Asas ini tidak boleh dilanggar sepanjang para pihak dengan patuh menaati panggilan menghadiri pemeriksaan sidang pengadilan. Lain halnya kalau pihak tergugat tidak mau menghadiri sidang pemeriksaan sekalipun sudah dipanggil secara patut dan resmi. Dalam hal yang seperti itu, undang-undang memberi pengecualian. Hakim dapat menyelesaikan perkara melalui proses verstek sesuai dengan ketentuan Pasal 125 HIR atau Pasal 149 RBG. Pemeriksaan dan putusan dapat dilakukan hakim tanpa hadirnya tergugat. Atau jika salah satu pihak tidak mau hadir mengikuti pemeriksaan selanjutnya sekalipun sudah resmi diberitahu tanggal pemunduran sidang yang akan datang, dan ketidakhadirannya tanpa alasan yang sah, pemeriksaan tetap dapat dilanjutkan hakim. Pemeriksaan yang seperti itu tetap dianggap bersifat contradictoir tanpa jawaban atau bantahan dari pihak yang tidak hadir. Hal itu tersirat dalam ketentuan Pasal 127 H1R atau Pasal 151 RBG. Dalam kasus yang seperti itu pemeriksaan perkara tidak perlu diundur. Dapat tetap dilanjutkan walaupun pihak lawan tidak hadir. Karena dalam hal yang seperti itu, pihak yang tidak hadir dianggap tidak sungguh-sungguh lagi membela kepentingannya dalam perkara yang bersangkutan. Dia dianggap sudah rela menerima apa saja yang dikemukakan pihak lawan.

c. Bersifat Condemnatoir
Oleh karena dalam perkara yang didasarkan pada gugat contentiosa bertujuan untuk menyelesaikan persengketaan, pihak penggugat dapat menuntut agar hakim ”menghukum” pihak tergugat. Pihak penggugat dapat menuntut putusan condemnatoir dalam petitum gugat, yakni meminta kepada hakim agar tergugat ”dihukum” menyerahkan, membongkar, mengosongkan, membagi, melakukan, atau tidak melakukan sesuatu atau untuk membayar sejumlah uang. Berdasar tuntutan petitum yang meminta penjatuhan hukuman terhadap tergugat, hakim dapat menjatuhkan putusan yang bersifat condemnatoir. Bentuk condemnatoimya, bisa menghukum dan memerintahkan tergugat untuk menyerahkan, membongkar, membagi, mengosongkan, melakukan, atau tidak melakukan atau pembayaran sejumlah uang. Condemnatoir yang dijatuhkan, sesuai dengan apa yang diminta penggugat dalam petitum.

Demikian prinsip yang terkandung dalam gugat contentiosa dapat diminta dan dijatuhkan putusan yang bersifat condemnatoir dalam salah satu amar putusan. Itu sebabnya dalam putusan perkaracontentiosa dapat sekaligus digabung amar yang deklarator dengan condemnatoir. Sedang dalam gugat volunteer di samping tidak boleh mengajukan tuntutan atau petitum gugat yangcondemnatoir, tidak mungkin sekaligus memuat amar yang declaratoir dan condemnatoir. Yang boleh hanya declaratoir saja. Lain halnya dalam perkara contentiosa, amar declarator bisa langsung dibarengi amar condemnatoir. Misalnya dalam sengketa pembagian harta warisan. Penggugat dapat menuntut agar dijatuhkan putusan yang bersifat declarator yang langsung dibarengi condemnatoir. Penggugat dapat menuntut agar dia dan para tergugat dinyatakan sebagai ahli waris. Tuntutan ini jelas bersifat declarator. Lantas tuntutan tersebut dibarengi denganpetitum untuk menghukum para tergugat menyerahkan dan mengosongkan serta membagi harta terperkara di antara penggugat dan para tergugat. Tuntutan ini jelas bersifat condemnatoir. Maka berdasar petitum tersebut hakim bisa mengabulkan sepanjang tuntutan declaratoir. Tetapi dapat pula langsung mengabulkan keduanya. Sehingga antara amar declaratoir berbareng bergabung dengan amar condemnatoir. Memang secara formal setiap amar condemnatoir harus didahului amar declaratoir. Secara formal amar condemnatoir tidak dapat berdiri sendiri. Dia baru dapat dijatuhkan jika didahului dengan amar declaratoir. Rasionya begini. Tidak mungkin menyatakan seseorang berhak atas harta warisan sebelum orang yang bersangkutan dan harta terperkara dinyatakan sebagai ahli waris dan harta warisan dari orang tuanya. Tidak mungkin menghukum orang lain untuk menyerahkan harta warisan tersebut kepada orang tadi sebelum dia dinyatakan sebagai orang yang berhak atasnya.

Tidak otomatis setiap perkara contentiosa bersifat condemnatoir. Ini perlu diingat. Juga tidak selamanya hakim mesti menjatuhkan amar condemnatoir pada setiap gugat contentiosa. Pada prinsipnya, amar condemnatoir baru dapat dijatuhkan hakim apabila hal itu diminta penggugat dalam petitum gugat. Kalau penggugat sendiri tidak menuntut putusan yang mengandung amarcondemnatoir, bagaimana mungkin hakim Jika penggugat tidak mengajukan petitum gugat yangcondemnatoir, lantas hakim dalam putusannya mencantumkan amar condemnatoir, berarti hakim telah”mengabulkan yang melebihi” dari yang digugat. cara mengadili yang demikian dengan asasultra petitum partium. Dan hal itu dilarang oleh Pasal 178 ayat (3) HIR atau Pasal 189 ayat (3) RBG. Kalau begitu, putusan yang timbul dan gugat contentiosa ada kemungkinan hanya bersifatdeclaratoir, tak ubahnya seperti putusan dalam gugat volunter? Bisa saja! Kemungkinan pertama oleh karena penggugat sendiri tidak meminta. Petitum gugat sama sekali tidak ada menuntut amarcondemnatoir. Kemungkinan kedua, apabila hakim mempertimbangkan tidak tepat menjatuhkan amar yang seperti itu.

d. Mengikat Kepada Para Pihak
Keputusan pengadilan yang berbentuk putusan, mengandung kebenaran hukum bagi para pihak yang berperkara. Apabila dari gugatan yang bersifat contentiosa telah dijatuhkan putusan oleh pengadilan, kemudian putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, putusan tersebut menjadi kebenaran hukum bagi pihak yang berperkara. Berbarengan dengan itu, putusan mengikat:

terhadap para pihak yang berperkara,
terhadap orang yang mendapat hak dari mereka, dan
terhadap ahli waris mereka,

Demikian jangkauan kekuatan mengikat putusan. Tidak menjadi soal apakah putusan tersebut bersifat declaratoir atau condemnatoir, dengan sendirinya menurut hukum putusan mempunyai daya kekuatan mengikat. Berbeda dengan putusan declaratoir yang lahir dari gugat volunteer.Daya kekuatan mengikatnya tidak ada, kecuali dalam penetapan cerai talak. Dalam penetapan cerai talak oleh karena pada hakikatnya tiada lain daripada gugat contentiosa yang bersifat semu, undang-undang melengketkan sifat kekuatan mengikat kepada suami istri. Namun secara umum penetapan yang lahir dari gugat volunter hanya mempunyai kekuatan kepada diri pemohon sendiri.

Oleh karena keputusan yang berbentuk putusan mempunyai kekuatan mengikat kepada para pihak, kepada orang yang mendapat hak dari mereka, para pihak mesti tunduk menaati putusan. Pihak yang satu dapat menuntut pemenuhan putusan kepada pihak yang lain. Keingkaran untuk memenuhi dan menaati, bisa menimbulkan akibat hukum.

e. Putusan Mempunyai Nilai Kekuatan Pembuktian
Hal lain yang tidak kurang pentingnya, ialah asas nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada putusan. Sejalan dengan sifat kekuatan mengikat yang melekat pada setiap putusan pengadilan, dengan sendirinya menurut hukum, melekat pula nilai kekuatan pembuktian yang menjangkau:

Para pihak yang berperkara,
Orang yang mendapat hak dari mereka, dan
Ahli waris mereka.
Maksudnya, kapan saja timbul sengketa di kemudian hari, dan sengketa perkaranya berkaitan langsung dengan apa yang telah tercantum dalam putusan, putusan tersebut dapat dipergunakan sebagai alat bukti untuk melumpuhkan gugatan pihak lawan. Nilai kekuatan

Pembuktian yang terkandung di dalamnya bersifat ”seumpuma” (volledig), ”mengikat” (bindede),dan ”memaksa” (dwingend). Bahkan dalam putusan tersebut melekat unsur ne bis in idemsebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1917 KUH Perdata. Jadi, apabila kelak pihak lawan mengajukan gugatan mengenai pihak-pihak yang sama, objeknya sama serta dalil gugatnya sama dengan apa yang tercantum dalam putusan, di samping putusan mempunyai kekuatan pembuktian yang sempuma, mengikat, dan memaksa (volledig, bifdende en dwingend bewijskracht), di dalam putusan juga telah terkandung unsur nebis in idem, yang mengakibatkan gugat dinyatakan tidak dapat diterima. Hal yang seperti itu antara lain dapat dilihat dalam putusan MA tanggai 3-10-1973, No. 588 K/Sip/1973. Putusan ini menyatakan kira-kira begini. Karena perkara yang digugat sama dengan perkara yang terdahulu baik mengenai dalil gugatan maupun objek dan subjek perkara, sedang putusan yang terdahulu tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap, di dalamnya sudah terkandung unsur nebis in idem, dan gugatan harus dinyatakan tidak dapat diterima.

Lain halnya dengan penetapan yang lahir dari gugatan permohonan atau volunter. Dalam keputusan yang berbentuk penetapan tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian terhadap siapa pun. Juga, dalam penetapan tidak akan pernah terkandung asas nebis in idem. Sebagai salah satu contoh dapat dikemukakan putusan MA tanggai 27-6-1973, No. 144 K/Sip/1973. Pertimbangannya berbunyi: “Penetapan mengenai ahli waris dan warisan dalam penetapan Pengadilan Negeri Gresik tanggai 14 April 1956 No. 43/1955/Pdt dan dalam putusan Pengadilan Negeri Gresik tanggai 23 November 1965 No. 66/1962/Pdt, tidak merupakan nebis in idem, oleh karena penetapan No. 43/1955/Pdt tersebut hanya bersifat declaratoir sedang dalam perkara No. 66/1962/Pdt tersebut ada sengketa antara pihak-pihak yang berkepentingan ”. Dalam putusan tersebut terdapat penegasan, putusan yang bersifat declaratoir yang terwujud dari gugat volunteer, tidak mengandung nebis in idem.

f. Putusan Mempunyai Kekuatan Eksekutorial
Sifat atau asas lain yang terkandung dalam keputusan Pengadilan yang berbentuk putusan adalah kekuatan eksekutorial. Apabila dalam putusan tercantum amar yang bersifat condemnatoir, maka dalam putusan tersebut melekat kekuatan eksekutorial. Jika pihak yang kalah tidak mau menaati putusan secara sukarela, putusan dapat dijalankan dengan paksa berdasar ketentuan Pasal 195 HIR atau Pasal 206 RBG. Hal ini sesuai dengan asas yang telah dibicarakan bahwa keputusan pengadilan yang berbentuk putusan mengikat kepada para pihak. Di samping berkekuatan mengikat juga menuntut penaatan dan pemenuhan. Pihak yang dijatuhi hukuman mesti taat dan memenuhi bunyi putusan. Penaatan dan pemenuhan dapat dilakukan pihak yang dihukum dengan sukarela. Tetapi kalau dia tidak mau menaati dan memenuhi secara sukarela, pihak yang menang dapat menuntut pemenuhan secara paksa melalui Ketua Pengadilan yang bersangkutan.

Sejak putusan telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, dan pihak yang kalah sudah anmanmg atau diperingati dalam tempo paling lama delapan hari, tidak juga memenuhi bunyi putusan, terwujudlah dalam putusan kekuatan eksekutorial (excecutorial kracht). Pihak yang berkepentingan dapat mengajukan permintaan eksekusi kepada Ketua pengadilan. Dalam hal ini Ketua Pengadilan berwenang memerintahkan dan memimpin pelaksanaan putusan. Untuk itu dia mengeluarkan penetapan perintah eksekusi kepada juru sita, agar juru sita melakukan eksekusi sesuai dengan bunyi putusan.

Akan tetapi jika putusan tidak mengandung amar yang bersifat condemnatoir, dan amamya bersifat ”deklaratif’, dalam putusan tidak melekat kekuatan ”eksekutorial” Misalnya, terjadi sengketa antara suami-istri mengenai harta bersama. Ternyata putusan pengadilan hanya menyatakan harta terperkara adalah harta bersama antara suami dan istri. Tidak ada amar lain yang menghukum atau memerintahkan pembagian. Walaupun putusan tersebut lahir dari gugat contentiosa, tidak dapat dieksekusi. Amar putusan hanya bersifat deklaratif, dan amar deklaratif tadi,tidak dibarengi dengan amar condemnatoir, sehingga putusan tidak memiliki kekuatan “eksekutorial”untuk melengketkan daya kekuatan eksekutorial dalam kasus dimaksud, harus lagi diajukan gugat baru berupa permintaan pembagian. Jika tidak diajukan gugat baru, selamanya putusan tidak dapat dijalankan melalui eksekusi. Kecuali pihak yang kalah mau melaksanakan dengan sukarela, lain soalnya. Tetapi menurut pengalaman, mana ada pihak yang berperkara mau melaksanakan putusan dengan sukarela. Sedangkan putusan yang bersifat condemnatoir, jarang bersedia melaksanakan secara sukarela, konon pula kalau putusan bersifat declaratoir.

B.     PELAKSANAAN PUTUSAN
Di dalam dunia peradilan, ada beberapa jenis pelaksanaan putusan yaitu :
Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk membayar sejumlah uang
Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk melakukan suatu perbuatan
Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk mengosongkan suatu benda tetap
Eksekusi riil dalam bentuk penjualan lelang

Selanjutnya, didalam mengeksekusi putusan pengadilan, ada beberapa syarat yang harus diperhatikan antara lain :
Putusan telah berkekuatan hukum tetap kecuali dalam hal:
1)      Pelaksanaan putusan serta merta, putusan yang dapat dilaksanakan  lebih dahulu,
2)      Pelaksanaan putusan provinsi,
3)      Pelaksanaan akta perdamaian, dan
4)      Pelaksanaan Grose Akta

Putusan tidak dijalankan oleh pihak terhukum secara suka rela meskipun ia telah diberi peringatan (aan maning) oleh ketua pengadilan agama
Putusan hakim yang bersifat kondemnatoir, sehingga dalam putusan diklaratoir dan konstitutif tidak diperlukan eksekusi
Eksekusi dilakukan atas perintah dan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan Agama

Sedangkan yang berwenang melaksanakan eksekusi hanyalah pengadilan tingkat pertama, PTA tidak berwenang melaksanakaan eksekusi. Sedangkan tata cara sita eksekusi sebagai berikut :
1. Ada permohonan sita eksekusi dari pihak yang bersangkutan
2. Berdasarkan surat perintah Ketua Pengadilan Agama, surat perintah dikeluarkan apabila :
tergugat tidak mau menghadiri panggilan peringatan tanpa alasan yang sah
tergugat tidak mau memenuhi perintah dalam amar putusan selama masa peringatan
3. Dilaksanakan oleh panitera atau juru sita
4. Pelaksanaan sita eksekusi harus dibantu oleh dua orang saksi :

Keharusan adanya dua saksi merupakan syarat sah sita eksekusi
Dua orang saksi tersebut berfungsi sebagai pembantu sekaligus sebagai saksi sita eksekusi
Nama dan pekerjaan kedua saksi tersebut harus dicantumkan dalam berita acara sita eksekusi
Saksi-saksi tersebut harus memenuhi syarat :

Telah berumur 21 tahun
Berstatus penduduk Indonesia
Memiliki sifat jujur
5. Sita eksekusi dilakukan di tempat obyek eksekusi
6. Membuat berita acara sita eksekusi yang memuat :
1)      Nama, pekerjaan dan tempat tinggal kedua saksi
2)      Merinci secara lengkap semua pekerjaan yang dilakukan
3)      Berita acara ditanda tangani pejabat pelaksana dan kedua saksi
4)      Pihak tersita dan juga kepala desa tidak diharuskan, menurut hukum, untuk ikut menanda tangani berita acara sita
5)      Isi berita acara sita harus diberi tahukan kepada pihak tersita, yaitu segera pada saat itu juga apabila ia hadir pada eks penyitaan tersebut, atau jika tidak hadir maka dalam waktu yang secepatnya segera diberitahukan dengan menyampaikan di tempat tinggalnya
7. Penjagaan yuridis barang yang disita diatur sebagai berikut :
1)      Penjagaan dan penguasaan barang sita eksekusi tetap berada di tangan tersita
2)      Pihak tersita tetap bebas memakai dan menikmatinya sampai pada saat dilakukan penjualan lelang
3)      Penempatan barang sita eksekusi tetap diletakkan di tempat mana barang itu disita, tanpa mengurangi kemungkinan memindahkannya ke tempat lain
4)      Penguasaan penjagaan tersebut harus disebutkan dalam berita acara sita
5)      Mengenai barang yang bisa habis dalam pemakaian, maka tidak boleh dipergunakan dan dinikmati oleh tersita
8. Ketidak hadiran tersita tidak menghalangi sita eksekusi.
Untuk lebih jelasnya mengenai pelaksanaan putusan di lingkungan Peradilan Agama, penulis akan membahas secara tersendiri dalam makalah yang lain dengan judul pelaksanaan atau eksekusi putusan Peradilan Agama.



BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian mengenai putusan dalam ruang lingkup Peradilan Agama, dapatlah kita ambil sekelumit kesimpulan tentangnya. Bahwa putusan dalam pengertian umum adalah pernyataan hakim dalam sidang pengadilan yang dapat berupa pemidanaan, putusan bebas, atau lepas dari segala tuntutan hukum. Produk hakim dari hasil pemeriksaan perkara di persidangan ada 3 macam yaitu putusan, penetapan, dan akta perdamaian. Adapun bentuk-bentuk putusan, dari segi fungsinya dalam mengakhiri perkara putusan hakim adalah sebagai berikut:
Putusan Akhir

Putusan Sela
Kemudian jika dilihat dari segi hadir tidaknya para pihak pada saat putusan dijatuhkan, putusan dibagi sebagai berikut :
Putusan Gugur
Putusan Verstek
Putusan Kontradiktoir
Jika dilihat dari isinya terhadap gugatan/perkara, putusan hakim dibagi sebagai berikut:
Putusan tidak menerima
Putusan menolak gugatan penggugat
Putusan mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian dan menolak/tidak menerima selebihnya.
Putusan mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya
Sedangkan jika dilihat dari segi sifatnya terhadap akibat hukum yang ditimbulkan, maka putusan dibagi sebagai berikut :
Putusan Diklatoir                                                  3.   Putusan Kondemnatoir
Putusan Konstitutif







DAFTAR PUSTAKA

Fauzan, M., Pokok-pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2007.
Harahap, M. Yahya, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Lubis, Sulaikin, ET AL., Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006.


banner
Previous Post
Next Post

0 comments: