MEMANG tidak sederhana menjadi
seorang pemimpin yang legal secara formal dan legitimed (dicintai bawahannya).
Sebelum seseorang diakui dan diamini menjadi pemimpin memerlukan seleksi yang
ketat dan berproses secara alamiah (natural). Sedangkan rakyat, ketika lahir di
dunia ini secara otomatis menjadi rakyat. Karena, kalangan menengah dan atas
lah yang memiliki kemampuan untuk memilah-milah, memilih, memetakan, dan
mengurai serta memutuskan persoalan (ahlul hall wal ‘aqd). Sedangkan kelompok
kedua, kehadirannya tidak memerlukan kompetensi khusus.
Kepemimpinan yang berkualitas
(leader) adalah persoalan krusial (fundamental) di dalam membangun bangsa dan
negara.
Dalam struktur yang dikenal di
masyarakat hanya terdiri dari dua level. Kalangan atas (al-Qiyadah) dan
kalangan bawah, grass root (al-Jundiyah).
Bapak sosiolog muslim, Ibnu
Khaldun mengatakan: Taghyiru khuluqil ummati tabi’un litaghyiri khuluqil
qiyadah (perubahan sebuah bangsa berbanding lurus dengan kesiapan berubah pada
kalangan elitisnya).Ada ungkapan lain yang memiliki makna senada: Ar Ra’iyyatu
‘ala dini mulkihi (kualitas agama rakyat berbanding lurus dengan mutu keaga
maan rajanya).
Jadi, sejak dahulu sampai
sekarang masyarakat kita pada umumnya memiliki karakteristik paternalistik.
Gampang untuk sendika dhawuh (sami’na wa ‘atha’na), patuh terhadap petuah
pemimpin yang melayani mereka, memahami dan menampung aspirasi yang dipimpin.
Bahkan, kualitas seorang pemimpin
tidak semata-mata ditentukan oleh ketrampilannya dalam berorasi dan
berdiplomasi (katsratur riwayah), tetapi diukur dari kemampuannya dalam
mendengar dan melayani (katsratur ri’ayah wal Istima’). Hal itu diperkuat
dengan ungkapan Umar bin Khathab: Sayyidul Qaumi khadimuhum (penghulu sebuah
komunitas adalah yang trampil melayani mereka dalam berbagai kebutuhannya, dan
menampung aspirasi, keluhan mereka, bukan yang mengkhianati mereka
(khadi’uhum).
Oleh karena itu, bila suatu
bangsa memilih pemimpin yang memiliki komitmen dan kompetensi yang unggul,
kreatif, visioner, prospektif, maka akan mengantarkan penduduknya dapat
menikmati dan memaknai masa depannya. Sebuah bangsa akan bangkrut, merugi,
secara moral dan material, tidak memiliki daya saing dengan bangsa lain, dan
akan terjadi chaos di dalamnya apabila stok kepemimpinan yang dimilikinya tidak
berkualitas.
Jika kita menoleh ke belakang,
krisis multidimensional (moral dan material) yang pernah menggerogoti Negara
kita salah satu diantara faktor penyebabnya berpangkal dari kepemimpinan
nasional yang kandas membawa bahtera Indonesia untuk berlabuh menuju pulau
harapan. Pemimpin saat itu gagal membawa Indonesia untuk bangkit dari kehinaan,
kebodohan, keterjajahan pisik dan mental, serta melepaskan diri dari kualitas
kehidupan yang rendah.
Secara obyektif kita mengakui
bahwa pada tahun-tahun pertama rezim Orde Baru ada kreativitas dan komitmen
(keterikatan yang kuat) untuk membangun bangsa yang sungguh-sungguh dengan visi
jauh ke depan. Tetapi, dengan pergiliran dan perguliran waktu, harapan itu
tidak berhasil diwujudkan secara kongkrit (realistis). Bahkan kepemimpinan
nasional mengalami de-generasi dan demoralisasi.
Model kepemimpinan pada masa itu
hanya difokuskan untuk mempertahankan status quo. Soeharto hanya bertindak
sebagai penguasa bukan sebagai sosok negarawan.
Peristiwa malapetaka Januari 1974
merupakan bukti yang sangat valid fenomena pembusukan dari dalam kepemimpinan
Orde Baru. Peristiwa Malari, di mana para mahasiswa dan tokoh kampus melakukan
protes keras untuk menggugat rezim yang sedang berkuasa, karena tidak
menunjukkan keberpihakannya kepada rakyat kecil (wong cilik), tetapi membela
wong licik (pengkhianat bangsa).
Demikian pula pada era reformasi,
sekalipun kebebasan berserikat dan berpendapat mendapat salurannya yang
memadai, tetapi penyelenggaraan ketatanegaraan kurang lebih sama dengan
pemerintahan sebelumnya. Penegakan hukum, pembrantasan KKN, keamanan, ekonomi,
pendidikan, kebudayaan dan berbagai bidang kehidupan yang lain masih belum
menunjukkan grafik kenaikan (baca : peningkatan) yang berarti. Perubahan
mendasar dan signifikan belum kunjung dirasakan oleh masyarakat bawah yang
selama ini menjadi tulang punggung Negara. Pemerintahan yang ada berkuasa
secara formal konstitusional tetapi tidak legitimed.
Lima Indikator Pemimpin Ideal
Untuk menghadapi tantangan abad
ke – 21, secara sederhana dapat dikemukakan masalah strategis yang sepatutnya
dipenuhi oleh unsur-unsur kepemimpinan nasional mendatang sebagai berikut :
Pertama: Profesional. Kualitas
tokoh-tokoh nasional yang akan datang memiliki kualitas intelektual, integritas
moral yang memadai dan visioner serta profesional. Tentu sangat fatal akibatnya
tokoh-tokoh yang bergabung dalam kepemimpinan nasional ke depan memiliki mutu
yang sepadan dengan rata-rata anggota masyarakat. Ada suatu aksioma bahwa para
pemimpin itu satu tingkat atau dua tingkat diatas kebanyakan rakyat yang
dipimpin. Jika para pemimpin kurang bermoral, kurang cerdas, kurang terampil,
akan mempengaruhi kualitas kehidupan masyarakat. Apalagi masyarakat kita masih
paternalistik.
Nabi mereka mengatakan kepada
mereka : Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu. Mereka
menjawab : Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak
mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan
yang banyak? (Nabi mereka) berkata: Sesungguhnya Allah telah memilihnya menjadi
rajamu dan menganugrahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa. Allah
memberikan pemerintahan kepadanya siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha
Luas pemberiannya lagi Maha Mengetahui (QS. Al Baqarah (2) : 247)
Kedua: Clean Government.
Kepemimpinan yang bersih dan berwibawa ini dimulai dari kepemimpinan yang jujur
dan bersih dari cacat moral yang fatal. Pepatah asing mengatakan bahwa honesty
is the best policy. Kejujuran adalah kebijakan yang paling baik. Pemimpin itu
harus jujur kepada dirinya, kepada masyarakatnya, dan yang terpenting adalah
kejujuran kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pemimpin yang tidak jujur akan mudah
terjatuh pada perangkap korupsi, kolusi dan nepoteisme, dan kemunafikan.
Pemimpin yang banyak bertopeng, KKN, yang merupakan simbol kerusakan moral
negeri ini terbukti menghancurkan kepemimpinan kita dari Orla, Orba dan Orde
Reformasi. Pangkal kerusakan yang terjadi di pentas sejarah perpolitikan dunia
terbukti diawali dari distribusi wewenang yang tidak merata kemudian diikuti
oleh ketidakadilan distribusi ekonomi.
Ketiga: Berdedikasi Tinggi.
Pemimpin adalah orang yang bersedia melakukan pengorbanan atas kepentingan
pribadinya untuk kepentingan yang lebih besar. Yaitu kepentingan bangsa dan
Negara. Kalau pemimpin mengorbankan kepentingan bangsa untuk kepentingan
pribadi, keluarga, kelompok, partai, dan familinya maka akan terjadi repetisi
atau pengulangan kepemimpinan masa lampau. Pengamat luar negeri mengatakan H.M.
Soeharto sukses menjadi a very good father of family, tetapi gagal menjadi
Father of Indonesia. Pemimpin ke depan harus menyadari secara mendalam bahwa ia
bukan sekedar menjadi anggota keluarganya, kelompok dan partainya, tetapi
pemandu 250 juta lebih bangsa Indonesia dari Sabang sampai Meraoke dengan
segala macam perbedaan, etnis, suku dan aspirasi yang harus direkonsiliasikan
secara arif. Alangkah idealnya jika presiden terpilih mengundurkan diri dari
partainya. Karena ia sudah menjadi milik seluruh rakyat Indonesia.
Dalam kacamata agama dapat
dipahami bahwa penghulu kaum itu sesungguhnya adalah yang sukses melayani
mereka. Bahwa dalam berbagai bidang kehidupan yang lain jiwa melayani,
mengabdi, dedikasi, adalah merupakan tolak ukur keberhasilan dalam memikul
tugas dan tanggungjawab. Pemimpin tidak identic dengan penguasa, tetapi
negarawan.
Keempat: Berjiwa Besar
(permadani). Gaya kepemimpinan yang dewasa (njawani, Bhs Jawa). Bisa menampung
berbagai macam karakter. Seorang pemimpin yang reaktif, emosional, tentu akan
menjadi pemimpin yang buruk. Tidak dapat memecahkan masalah-masalah dengan
kepala dingin dan pikiran yang jernih, canggih, dan stamina jiwa yang prima.
Seorang pemimpin yang grusa-grusu (gegabah) hanya akan mengikuti panggilan
emosinya. Padahal pemimpin itu orang yang pandai memaafkan kesalahan orang
lain, bahkan ia memohonkan ampun atas kesalahan rakyatnya kepada Tuhan.
فَبِمَا
رَحْمَةٍ مِّنَ اللّهِ لِنتَ
لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظّاً
غَلِيظَ الْقَلْبِ لاَنفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ
عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي
الأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ
عَلَى اللّهِ إِنَّ اللّهَ
يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
“Maka disebabkan rahmat dari
Allah lah kamu berlaku lemah lembut kepada mereka. Sekiranya kamu bersikap
keras lagi berhati kasar tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.
Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah
membulatkan tekat, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS:Ali Imran (3) : 159).
Kelima: Menerapkan Kepemimpinan
Kolektif. Pemimpin ke depan harus menyadari bahwa ia tidak tahu segala-galanya
dan tidak menguasai segala-galanya. Kepemimpinan kolektif harus menjadi
alternatif model kepemimpinan ke depan. Apalagi ciri yang menonjol masyarakat
globalisasi adalah masyarakat jaringan. Kekuatannya terletak pada ketrampilannya
dalam menjalin komunikasi lintas kelompok, partai, bahkan Negara (network).
Komunitas dinosaurus punah dari muka bumi ini karena memandang setiap
perkembangan lingkungan sosialnya dipersepsikan sebagai ancaman, rivalitas,
bukan dipandang sebagai anugrah dan mitra berpikir dan bekerja.
Kita tidak perlu mengulangi model
kepemimpinan yang bersifat one man show (menonjolkan kharisma individu
pemimpin) sebagaimana yang terjadi selama kepemimpinan Orba. Sebab, pola
kepemimpinan terakhir mengakibatkan tsunami nasional yang terbesar. Dengan
kepemimpinan yang bersifat kolegal, diharapkan bangsa Indonesia memasuki masa
depan dengan langkah yang pasti. Karena kemampuan pemimpin untuk mengelola dan
mensinergikan berbagai potensi akan menjadi modal kekuatan bangsa. Hanya
Rasulullah Shallallahu ‘alahi Wassalam yang ma’shum, yang di dalam dirinya
berhasil melakukan fungsi eksekutif, yudikatif dan legislative sekaligus.
Dengan lima indicator di atas
kiranya dapat membantu dalam memandu bangsa kita untuk memilih dan berpihak
kepada pemimpin yang berkualitas. Siapa saja yang menang dalam berkompetisi
pada pemilihan presiden setiap orde, semoga yang terpilih itu yang terbaik.
Karena itulah kepemimpinan yang
berkualitas (leader), tidak sama dengan seorang dealer (calo, makelar, red).
Dengan selektif dalam memilih
pemimpin, kita berharap tidak ingin keluar dari mulut macan dan singa, dan
masuk ke mulut buaya. Dalam terma keagamaan, kita tidak boleh jatuh pada lubang
kehancuran untuk kedua kalinya.
أَلَمْ
تَرَ إِلَى الَّذِينَ بَدَّلُواْ
نِعْمَةَ اللّهِ كُفْراً وَأَحَلُّواْ
قَوْمَهُمْ دَارَ الْبَوَارِ
“Tidakkah kamu perhatikan
orang-orang yang telah menukar nikmat Allah Subhanahu Wata’ala dengan kekafiran
dan menjatuhkan kaumnya ke dalam lembah kebinasaan.” (QS: Ibrahim (14) : 28).*
Penulis adalah kolumnis
hidayatuallah.com, tinggal di Kudus, Jawa Timur
0 comments: