Ketika kita ‘melabeli’
diri kita dengan sebutan Aktivis Dakwah Kampus (ADK), tentu akan banyak
pasangan mata akan menyoroti setiap pergerakan kita baik di dalam maupun di
luar kampus. Tetapi, saya tidak akan membahas pandangan orang lain (baca :
bukan ADK) terhadap kinerja ADK. Pada kesempatan kali ini saya akan membahas
hasil pengamatan saya sebagai sesama ADK.
Aktivis Dakwah Kampus
(ADK), secara struktural dan sistematis memiliki wadah pergerakannya
masing-masing.
Pertama, Budaya “One
Man Show”
Budaya “One Man Show”
melekat pada setiap wajiha yang ada. Hal ini ditandai dengan adanya satu
individu saja yang dominan dalam kegiatan atau rapat rutin yang ada di
departemen, divisi, dan/atau dinas yang ada di wajihanya masing-masing. Pada
waktu acara si fulan yang dominan, pada waktu rapat (syuro’) si fulan lagi yang
dominan. Ketua pelaksana si fulan juga, pimpinan rapat si fulan lagi. Jika
dibiarkan terus-menerus hal ini dapat menyebabkan mengeroposnya sistem
pengkaderan. Sehingga, seolah-olah yang ada di wajiha tersebut hanya ada si
fulan saja. Budaya “Super Team” yang selama ini dibangun bisa berubah menjadi
budaya “Super Man”. Mari kita mengingat kembali bahwa Islam ini kokoh karena
budaya ramai-ramainya (jama’ah).
Kedua, Pudarnya
Ketsiqohan Jundiyah Terhadap Qiyadah
Amirul Mukminin
Khalifah Umar Bin Khattab radhiyallahu’anhupernah berkata, “Tiada Islam tanpa
jamaah. Tiada jamaah tanpa qiyadah. Tiada qiyadah tanpa ketaatan”. Perkataan
tersebuttersebut menandakan pentingnya ketsiqohan anggota terhadap
pemimpin.Jika sudah terasa gejala-gejala pudarnya ketsiqohan kita terhadap
qiyadah, maka hal yang pertama harus kita lakukan adalah mengingat dan
meluruskan niat, bahwasanya niat kita adalah lillahita’ala. Niat kita adalah
mencari ridho dan mengharapkan rahmat-Nya dengan wasilah (jalan) melalui
pergerakan dakwah kampus. Cukuplah perang uhud sebagai cerminan betapa
pentingnya ketsiqohan itu. Misi dakwah yang terkalahkan oleh tergiurnya dengan
ghonimah. Mari kita tata dan bersihkan kembali hati kita dari perkara
“ghonimah-ghonimah” yang dapat membengkokkan tujuan dan misi dakwah ini.
Ketiga, Munculnya
Paradigma “yang penting jalan” dalam Menampilkan Dakwah
Dalam menjalankan
agenda-agenda dakwah, seringkali terdapat oknum-oknum yang mengerucutkan
definisi dakwah itu sendiri. Sangat disayangkan jika agenda-agenda dakwah yang telah
dirancang sedemikian rupa tetapi ditampilkan secara parsial. Para kader dakwah
dituntut militansinya dalam menampilkan dakwah, karena menampilkan dakwah
secara profesional akan lebih besar pengaruhnya dibandingkan menampilkan dakwah
dengan prinsip “yang penting jalan”. Memperlihatkan dakwah secara profesional,
energic, dan kuat itu sangatlah penting.
Dalam ajaran Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam pada suatu ibadah yang suci yaitu thawwaf di
ka’bah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam membimbing para sahabat untuk
menutupkan kain ihromnya ke pundak kiri dan pundak kanan tidak boleh ditutup
pada saat mengelilingi ka’bah dalam umroh (satu tahun setelah perjuangan
hudaibiyah) terutama ketika melewati ka’bah dari rukun yamani sampai hajar
aswad agar terlihat ummat muslim itu gagah dan kuat (pada saat itu musyrikin
‘ubaish menonton kaum muslim dari jabal ’ubaish), bahkan diperintahkan mengubah
jalan para sahabat menjadi setengah lari supaya terlihat seperti pasukan yang
siap siaga. Begitupun kita, seharusnya dalam perjuangan dalam berdakwah ini
jangan “yang penting jalan” karena sesungguhnya Allah menilai proses kita.
Sudah semestinya kita tampil energic, tampil totalitas kita, dan tampil
kekuatan kita dalam mensyiarkan agama Allah.
Keempat, Minimnya
Kualitas Kader
Sekarang ini, untuk
mendapatkan gelar ADK itu sangatlah mudah. Orang yang berkecimpung dalam ranah
siyasi,’ilmiy,atau dakwi, rajin sholat di masjid lima waktu dan berprilaku
baik, bertudung labuh, dan sering terlihat dalam kegiatan pendidikan dan
pembinaan agama Islam dalam bentuk pengajian kelompok kecil (mentoring) sudah
bisa dikatakan ADK. Dari sana kita melihat minimnya standar alim di lingkungan
kita. Padahal hal semacam itu adalah kewajiban seorang muslim. Sejatinya manusia
memang tidak ada yang sempurna. Kita juga tidak bisa menunggu sempurna baru
mulai bergerak untuk berdakwah karena dakwah bukan karena kita yang terbaik
tapi bagaimana caranya kita menggiring umat untuk sama-sama berproses menjadi
baik. Namun, sudah sepantasnya bahwa ADK harus memiliki kapasitas yang lebih
dari masyarakat kebanyakan, baik dari segi pengetahuan maupun kualitas dan
kuantitas ibadah. Tapi apabila kita tinjau menggunakan lembar mutaba’ah
yaumiyah, maka akan terlihat minimnya kualitas dan kuantitas ibadah ADK
tersebut.
Selanjutnya, Ujub
Permasalahan ADK
semakin kompleks dengan munculnya oknum-oknum yang kemudian memisahkan diri
dari kelompok masyarakat ammah dan menatap aneh kepada mereka yang tidak
berpenampilan dan berperilaku seperti dirinya. Padahal dakwah yang sebenarnya
adalah apabila kita mampu membawa mereka yang ammah itu untuk kenal dan paham
dengan syariat-syariat Islam untuk kemudian secara besama-sama dapat menjalani
kehidupan Islam secara kaffah, bukan meninggalkannya dengan mencelanya. Karena
hakikatnya kita adalah sama dengan mereka, hanya saja Allah subhanahu wa ta’ala
menyelamatkan kita lebih dahulu. Sesungguhnya ilmu itu bukan seberapa banyaknya
hafalan kita, bukan seberapa maksimalnya kualitas dan kuantitas ibadah kita,
tapi ilmu itu adalah yang mampu menimbulkan rasa takut di hati kita terhadap
Allah subhanahu wa ta’ala.
Permasalahan-permasalahan
diatas adalah permasalahan yang harus kita tumpas bersama dalam rangka
sampainya syiar-syiar Islam yang diridhoi ini. Mari kembali meluruskan niat dan
merapatkan barisan. Eksistensi ADK harus mampu membawa atmosfer baik
dilingkungannya. Wallahu’alam.
0 comments: